BANDAR LAMPUNG – Dugaan pelanggaran hukum dan kejahatan lingkungan kembali mencuat di kawasan lindung Sukabumi, Kota Bandar Lampung. Setelah sempat disegel oleh Tim Pengawas PPLH Provinsi Lampung, aktivitas yang menyerupai penambangan batuan ilegal di lahan milik UD Sumatera Baja justru kembali beroperasi usai DLH Kota memberikan Persetujuan Lingkungan (Perling).
Pencabutan segel tersebut menimbulkan tanda tanya besar dari masyarakat dan pengamat lingkungan. Pasalnya, lahan yang digunakan merupakan bagian dari kawasan lindung dan daerah resapan air, yang seharusnya dilarang untuk kegiatan komersial dan industri seperti penambangan atau pengerukan bukit.
DLH Kota Beri Rekomendasi Meski Masuk Kawasan Lindung
Menurut Wahyu Ramadhan dari PPLH Provinsi Lampung, keputusan pencabutan segel diambil atas dasar laporan dari DLH Kota yang menyatakan bahwa pihak UD Sumatera Baja telah memenuhi kewajiban administratif. Namun, ia juga mengakui bahwa wilayah tersebut termasuk kawasan lindung.
“Kalau memang tata ruang di lokasi itu adalah kawasan lindung, seharusnya tidak diperbolehkan adanya kegiatan pembangunan atau tambang. Tapi kewenangan pemberian izin ada di DLH Kota,” ujarnya.
Empat Sanksi Administratif yang Dipenuhi Perusahaan
Menurut Denis, Kabid di DLH Kota Bandar Lampung, UD Sumatera Baja telah memenuhi empat kewajiban administratif, antara lain:
Pelaporan berkala setiap enam bulan
Uji emisi udara ambien
Penyesuaian nama perusahaan di dokumen izin
Revisi Dokumen Lingkungan dan Persetujuan Lingkungan
Dengan dipenuhinya keempat poin tersebut, maka izin aktivitas usaha kembali diberikan, termasuk di lahan seluas 3 hektare yang masuk dalam dokumen perling.
Pengamat dan Akademisi Kecam Kebijakan DLH
Langkah DLH ini menuai kritik tajam dari para akademisi dan pengamat tata ruang.
Arif Hidayatullah, SH, MH, dari Tim Advokasi Tata Ruang Lampung menyatakan bahwa sudah cukup bukti untuk menjerat pelaku dengan delik kejahatan lingkungan dan penyalahgunaan wewenang.
“Jika PPLH menyimpulkan tambang ilegal ini penyebab banjir, maka unsur pidananya sudah terpenuhi. Apalagi kawasan itu adalah daerah resapan air,” tegas Arif.
Muhammad Hakiem Sedo Putra, ST, MT, dosen FTIK Itera, menyebut pengerukan bukit di kawasan lindung akan meningkatkan risiko bencana, termasuk banjir dan kekeringan akibat rusaknya fungsi imbuhan air tanah.
Kerusakan Lingkungan, Banjir, dan Dugaan Penambangan Ilegal
Sebelumnya, berdasarkan investigasi PPLH Provinsi Lampung pada Mei 2025, ditemukan aktivitas yang diduga sebagai penambangan ilegal yang menyebabkan perubahan bentuk bentang alam dan berkontribusi besar terhadap banjir di kawasan Sukabumi.
Kombes Pol Derry Agung Wijaya, Dirkrimsus Polda Lampung, menyatakan bahwa penyelidikan terhadap kasus ini masih berlangsung. Ia menegaskan adanya temuan kerusakan lingkungan masif akibat pengerukan bukit, yang kini menjadi atensi pihaknya.
Aparat Diminta Tegas, DLH Dituntut Transparan
Meski telah berlangsung sejak 2018, aktivitas UD Sumatera Baja baru disorot publik setelah penyegelan pada Mei 2025 dan pencabutan izin oleh DLH Kota. Pengamat menilai ada potensi permainan antara oknum perusahaan dan pejabat daerah yang harus diusut tuntas.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Polda Lampung belum merilis hasil penyelidikan secara resmi. Sementara itu, konfirmasi terhadap pihak UD Sumatera Baja masih diupayakan redaksi saibumi.com.
Kesimpulan: “Untung Segelintir, Rugi Sekampung”
Kebijakan pemerintah daerah yang dinilai mengabaikan fungsi kawasan lindung demi kepentingan segelintir pihak dikhawatirkan akan memperparah dampak ekologis di masa depan. Apalagi, daerah Sukabumi telah berulang kali menjadi langganan banjir pasca hujan deras, yang kini diduga kuat akibat rusaknya fungsi kawasan resapan air.

Post a Comment