PESAWARAN – Kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pesawaran menjadi sorotan tajam setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan defisit anggaran kronis selama empat tahun berturut-turut, yang puncaknya menyebabkan tunggakan iuran BPJS Kesehatan sebesar Rp19,76 miliar per 31 Desember 2024.
Kondisi ini, menurut Pemerhati kebijakan publik, Benny N.A. Puspanegara, merupakan indikasi kegagalan struktural dalam tata kelola fiskal daerah dan melanggar amanat konstitusi.
Benny N.A. Puspanegara, dalam keterangannya pada Senin (6/10/2025), menilai tunggakan BPJS tersebut berdampak langsung pada ribuan Aparatur Sipil Negara (ASN), perangkat desa, dan peserta mandiri penerima bantuan iuran (PBPU) yang terancam kehilangan hak layanan kesehatan.
“Jika defisit dibiarkan berulang dan iuran jaminan kesehatan tidak dibayar, maka kepala daerah telah gagal menjalankan amanat undang-undang,” ujar Benny.
Defisit Kronis dan Ironi Penghargaan
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Perwakilan Lampung mencatat bahwa keuangan Pesawaran selalu berada dalam posisi defisit sejak tahun 2021 dengan peningkatan jumlah yang signifikan:
2021: Rp34,9 miliar
2022: Rp77,7 miliar
2023: Rp97,3 miliar
2024: Rp66,1 miliar
Selain tunggakan BPJS, Pemkab Pesawaran juga belum membayarkan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) senilai Rp6,97 miliar kepada pegawainya.
Benny menyoroti ironi di balik krisis fiskal ini. Menurutnya, deretan piagam penghargaan yang dipamerkan di kantor Pemkab Pesawaran hanyalah bentuk pencitraan tanpa legitimasi moral.
“Apa arti penghargaan jika rakyat tidak bisa berobat? Apa makna prestasi jika pegawai tak menerima haknya? Itu pembodohan publik yang berbahaya, karena menutupi krisis hak dasar warga dengan simbol semu keberhasilan,” katanya.
Pelanggaran Konstitusi dan Kegagalan Fiskal
Benny menegaskan bahwa persoalan tunggakan iuran jaminan kesehatan ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak dasar warga atas kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Ia juga menyebut UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah diabaikan, di mana iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) wajib ditanggung pemerintah. “Tunggakan BPJS ini adalah bukti konkret kegagalan menjalankan amanat SJSN,” tegasnya.
Meskipun BPK mencatat salah satu penyebab defisit adalah keterlambatan penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp59,67 miliar dari Pemprov Lampung, Benny menilai alasan tersebut tidak dapat dijadikan pembenaran.
“Sejak kapan APBD disusun dengan mengandalkan dana yang belum pasti turun? Prinsip kehati-hatian fiskal justru diabaikan,” ujarnya. Ia menambahkan, kegagalan ini menunjukkan Pemkab Pesawaran tidak memiliki cadangan fiskal dan gagal mengatur skala prioritas anggaran.
Tuntutan Aksi Konkret
Untuk menyelesaikan krisis ini, Benny N.A. Puspanegara mendesak sejumlah pihak mengambil langkah konkret, yaitu:
Gubernur Lampung diminta segera menuntaskan kewajiban transfer Dana Bagi Hasil (DBH) agar pelayanan publik di Pesawaran tidak lumpuh.
Mantan Bupati Pesawaran, Dendi Ramadhona, dituntut bertanggung jawab atas manajemen fiskal yang gagal dan berdampak langsung terhadap pelayanan dasar.
DPRD Pesawaran harus membentuk Panitia Khusus (Pansus) Tata Kelola Anggaran untuk menelusuri akar penyebab defisit dan tunggakan BPJS.
APIP dan penegak hukum diminta menelusuri kemungkinan adanya pelanggaran administrasi atau penyimpangan anggaran.
“Jika negara gagal melindungi hak dasar rakyat, maka ini bukan sekadar defisit anggaran. Ini defisit moral dan defisit keberpihakan,” tandas Benny.

Post a Comment