Pernyataan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mesuji bahwa tanah ulayat atau tanah marga di wilayahnya secara yuridis sudah tidak ada telah memicu polemik agraria. Klaim ini didasarkan pada hasil konsultasi Pemkab dengan sejumlah lembaga dan pakar hukum Universitas Lampung (Unila), yang menyebut tanah ulayat Lampung telah beralih status menjadi "tanah bekas adat".
Pemkab Mesuji menganggap tanah ilalang atau tanah yang belum tersentuh sebagai tanah negara. Masyarakat yang ingin membeli atau mendaftarkan tanah diwajibkan membuat Surat Keterangan Tanah (SKT) dari desa, diketahui camat, dan melampirkan bukti pembelian.
Kritik Keras dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Pernyataan Pemkab Mesuji menuai kritik keras dari Ketua Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, yang menilai pandangan tersebut cacat secara konstitusional dan cacat hukum.
1. Dasar Hukum yang Melanggar Konstitusi
Iwan Nurdin menegaskan bahwa Peraturan Gubernur (Pergub) atau Surat Keputusan (SK) Gubernur tidak memiliki kewenangan untuk menghapus eksistensi tanah marga atau tanah adat. Hal ini bertentangan dengan:
UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3): Yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
UU Pokok Agraria (UUPA) 1960 Pasal 3: Yang secara tegas mengakui hak ulayat masyarakat adat sepanjang kenyataannya masih ada.
Iwan juga merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012, yang menyatakan hutan adat bukan lagi hutan negara, melainkan bagian dari wilayah masyarakat hukum adat. Ia berargumen, jika hutan adat saja tidak bisa dihapus lewat Peraturan Menteri, apalagi tanah marga dihapus dengan Pergub.
2. Kesalahpahaman Terhadap SK Gubernur 1977
Menurut Iwan, kesalahpahaman muncul dari interpretasi keliru terhadap SK Gubernur Lampung No. G/088/D.A/HK/1977 tentang penghapusan marga-marga di Lampung.
Pemerintahan marga (lembaga sosial-politik lokal) berbeda dengan tanah marga (harta komunal/tanah ulayat).
Menghapus pemerintahan marga tidak otomatis menghapus tanah marganya. Iwan mengibaratkan, "Membubarkan desa tidak otomatis menghapus hak warga atas sawah mereka."
Iwan menyimpulkan, tindakan pemerintah yang menganggap tanah marga otomatis menjadi tanah negara tanpa proses hukum adalah penyalahgunaan kewenangan.
Klarifikasi Pemkab Mesuji dan Akar Konflik Agraria
Konflik Agraria di Mesuji
Polemik status tanah ini berkaitan erat dengan konflik agraria berkepanjangan di Mesuji, khususnya antara Masyarakat Adat Buay Mencurung dan PT Sumber Indah Perkasa (SIP). Warga menuntut pengembalian sebagian lahan yang diklaim sebagai tanah ulayat, yang kini dikuasai perusahaan dengan Hak Guna Usaha (HGU). Sikap Pemkab yang berpegang pada konsep "tanah bekas adat" dianggap memperlemah posisi masyarakat adat dalam sengketa.
Penjelasan Kepala Kesbangpol Mesuji
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Mesuji, Taufik Widodo, memberikan klarifikasi atas video yang beredar, menegaskan bahwa ia hanya menceritakan hasil konsultasi, bukan menyampaikan pendapat pribadi.
Taufik menjelaskan, Forkopimda Mesuji melakukan konsultasi karena konflik agraria yang tak kunjung selesai. Dalam konsultasi dengan Prof. FX Sumarja dari Fakultas Hukum Unila, dijelaskan:
Sejak tahun 1952 terjadi peralihan sistem pemerintahan dari marga ke negeri.
Tanah-tanah marga yang tidak dikelola diambil alih oleh negara.
Tanah yang dikelola masyarakat menjadi milik perorangan.
Taufik mengaku penjelasannya kepada warga terpotong dalam video sehingga menimbulkan salah tafsir. Ia memohon maaf kepada para tokoh adat Lampung atas kesalahpahaman yang terjadi, berharap klarifikasi ini dapat meluruskan polemik dan menjadi momentum penyelesaian sengketa secara berkeadilan.

Post a Comment