Klarifikasi Pernyataan Adat Lampung di Video Konflik Agraria, Pemkab Mesuji dan Forkopimda Sampaikan Permohonan Maaf




MESUJI – Pemerintah Kabupaten Mesuji bersama unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Mesuji menyampaikan klarifikasi dan permohonan maaf secara terbuka atas beredarnya video yang berisi pernyataan menyinggung tatanan adat Lampung. Pernyataan tersebut muncul dalam konteks pembahasan penyelesaian konflik agraria di wilayah tersebut.

Surat permohonan maaf tertanggal 14 Oktober 2025 itu ditandatangani bersama oleh pejabat teras Mesuji, termasuk Kepala Kesbangpol Taufiq Widodo, Kapolres Mesuji AKBP Dr. Muhammad Yulius, serta perwakilan BPN, Setda, Staf Ahli Bupati, DPRD, dan Danramil.

Dalam suratnya, Taufiq Widodo menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh pimpinan adat, pemuka adat, tokoh masyarakat, dan seluruh lapisan masyarakat Provinsi Lampung. Ia mengakui bahwa pernyataannya telah menimbulkan kesalahpahaman dan kegaduhan.


“Tidak ada niatan sedikitpun dari saya untuk masuk atau menyentuh tatanan adat Lampung. Saya sangat mencintai Lampung. Dan saya menyadari bahwa apa yang telah saya ucapkan tersebut menimbulkan kesalahpahaman dan kegaduhan di masyarakat. Untuk itu sekali lagi saya memohon maaf atas kondisi yang terjadi,” tulis Taufiq.

Ia menegaskan bahwa insiden ini menjadi pembelajaran baginya untuk lebih berhati-hati dan bijak dalam menyampaikan informasi.

Permintaan Maaf Harus Diikuti Penyelesaian Konflik yang Adil

Menanggapi langkah tersebut, Ketua Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, menilai permintaan maaf Pemkab Mesuji merupakan langkah positif. Namun, ia menekankan bahwa permohonan maaf tersebut harus diikuti dengan komitmen penyelesaian konflik tanah yang adil dan memulihkan hak korban.

Menurut Iwan Nurdin, selama ini Pemkab Mesuji berpegangan pada pandangan bahwa tanah adat di Lampung sudah tidak ada secara hukum dan hanya diakui sebagai “tanah bekas adat”. Sikap ini muncul dalam mediasi konflik agraria antara masyarakat adat Buay Mencurung dan PT Sumber Indah Perkasa (SIP).

Iwan Nurdin menegaskan pandangan tersebut keliru secara hukum agraria.

“Minta maaf baik, namun seharusnya diikuti dengan prinsip penyelesaian konflik tanah yang memulihkan hak korban, bukan meneruskan tafsir hukum keliru,” ujar Iwan Nurdin.

Ia menambahkan bahwa hak masyarakat hukum adat tidak bisa dihapus oleh produk hukum administratif apa pun selama masyarakat hukum adat masih hidup dan tanahnya masih ada. KPA mendesak Pemkab Mesuji untuk mengambil langkah konkret dalam memulihkan keadilan bagi masyarakat adat dan petani yang terdampak.

Post a Comment

Previous Post Next Post