Dua Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Provinsi Lampung, PT Wahana Raharja (WR) dan PT Lampung Jasa Utama (LJU), menjadi sorotan tajam karena kinerja keuangan yang cenderung merugi secara konsisten. Data laporan keuangan menunjukkan ironi: alih-alih menjadi motor penggerak ekonomi, BUMD-BUMD ini justru menguji ketahanan kas daerah dalam menopang kerugian.
Kisah Konsistensi Kerugian PT Wahana Raharja (WR)
PT Wahana Raharja telah menjadikan kerugian sebagai tradisi selama periode yang panjang. Perusahaan ini secara konsisten mencatat kerugian miliaran rupiah:
2018: Rugi Rp2,59 miliar
2021: Rugi Rp2,51 miliar
2022: Rugi Rp1,88 miliar
Momen euforia sempat terjadi pada 2023 ketika perusahaan mencatat laba sebesar Rp75,48 juta. Namun, kebahagiaan itu meredup di tahun 2024, di mana laba menyusut drastis menjadi hanya Rp14,38 juta—jumlah yang dianggap sangat kecil dibanding skala kerugian tahun-tahun sebelumnya.
Dampak dari kerugian berkelanjutan ini sangat terasa pada struktur keuangan perusahaan:
Ekuitas menyusut dari Rp9,22 miliar (2019) menjadi Rp2,68 miliar (2024).
Aset ikut menyusut dari Rp14,86 miliar menjadi Rp7,69 miliar.
Jejak Utang dan Beban Sewa PT Lampung Jasa Utama (LJU)
PT Lampung Jasa Utama (LJU) juga menghadapi masalah keuangan yang signifikan. Laporan keuangan tahun 2024 mencatat:
Utang Usaha: Rp1,17 miliar
Utang Pajak: Rp180 juta
Beban Lain-Lain: Rp574 juta
Yang lebih ironis, PT LJU masih numpang kantor di aset milik Pemprov Lampung di Jalan Gatot Subroto. Lahan seluas 1.174 meter persegi tersebut disewa dengan nilai reklasifikasi Rp3 miliar pada tahun 2024. Artinya, di tengah kesulitan membayar utang, BUMD ini masih harus menanggung beban sewa miliaran rupiah untuk gedung yang bukan miliknya.
Kedua kasus BUMD ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas tata kelola dan keberadaan BUMD sebagai entitas bisnis yang seharusnya berkontribusi pada Pendapatan Asli Daerah (PAD), bukan sebaliknya.
Post a Comment