Program Makan Bergizi Gratis Dievaluasi Total, Pengamat dan DPRD Lampung Tekankan Pengawasan



BANDAR LAMPUNG – Usulan untuk mengganti program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan uang tunai muncul setelah adanya kasus keracunan makanan yang dialami oleh para penerima manfaat, terutama pelajar. Menanggapi hal ini, pengamat kebijakan publik Universitas Lampung (Unila) dan pihak DPRD Lampung mendorong evaluasi menyeluruh serta pengawasan ketat.


Pemberian Uang Tunai vs. Evaluasi Menyeluruh



Menurut Pengamat Kebijakan Publik Unila, Dedi Hermawan, usulan pemberian uang tunai sah-sah saja, tetapi solusi ini harus dikaji lebih dalam. Ia menekankan bahwa inti masalahnya adalah kelemahan pengawasan program MBG yang sudah berjalan.

"Yang paling penting kan sebenernya program yang sudah berjalan hampir setahun ini dievaluasi dulu secara menyeluruh, komprehensif dan mendalam. Supaya tahu dalam pelaksanaannya itu kelemahannya apa saja," ujar Dedi.

Ia menambahkan, kasus keracunan menunjukkan bahwa pengawasan terhadap kualitas bahan makanan dan standar pengolahan belum berjalan optimal. Jika masalah ini tidak diselesaikan, solusi apa pun, termasuk uang tunai, bisa menimbulkan masalah baru.


BGN dan DPRD Lampung Perketat Pengawasan



Secara terpisah, Badan Gizi Nasional (BGN) dan DPRD Lampung telah melakukan pertemuan untuk membahas langkah-langkah strategis. Kasubag TU BGN, Fitra Alfarizi, menyampaikan bahwa pihaknya akan merekrut relawan dan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi Lampung untuk melakukan sertifikasi makanan.

Pihak BGN juga menyiapkan mitigasi untuk mencegah kasus keracunan dengan melakukan quality control di setiap dapur MBG. "Kami harap nantinya makanan bergizi gratis bisa zero accident," kata Fitra.

Ketua Komisi I DPRD Lampung, Garinca Reza Fahlevi, menegaskan komitmennya untuk melakukan pengawasan ketat. "Yang menjadi fokus kami di DPRD adalah pengawasan bagaimana agar keracunan MBG tidak terjadi lagi," ucap Garinca.

Saat ini, Lampung memiliki 467 dapur MBG, atau 56% dari kebutuhan. Angka ini merupakan persentase tertinggi di Indonesia, dengan 1,2 juta penerima manfaat. Keberhasilan ini menuntut pengawasan yang lebih ketat agar tujuan program, yaitu menyediakan makanan sehat dan higienis, bisa tercapai sepenuhnya.

Post a Comment

Previous Post Next Post