Pringsewu, 23 Juli 2025 — Dugaan praktik pungutan liar (pungli) kembali mencuat di dunia pendidikan. Kali ini terjadi di SMAN 1 Adiluwih, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung, terkait pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) yang didanai dari iuran komite sekolah.
Sesuai aturan, dana komite seharusnya bersifat sukarela, digunakan untuk mendukung kegiatan yang tidak dibiayai oleh anggaran pemerintah, dan dikelola secara transparan serta akuntabel. Namun, informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa pungutan dilakukan dengan jumlah tertentu yang wajib dibayarkan oleh wali murid.
Seorang warga berinisial MS, yang mengetahui pembangunan tersebut, mengungkapkan bahwa bangunan RKB memang didanai dari dana komite.
“Ini mah bangunannya dari uang komite,” ujar MS singkat.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan salah satu siswa, yang menyebutkan bahwa dirinya ikut membayar dana komite sebesar Rp2.700.000 per tahun, dengan mekanisme cicilan sebanyak tiga kali.
“Saya bayar tiga kali, tidak sekaligus semuanya,” katanya.
Ketika dikonfirmasi, Wakil Kepala Sekolah SMAN 1 Adiluwih, Chasanah Wahyuningsih, menyatakan tidak mengetahui detail pembangunan tersebut.
“Saya tidak tahu-menahu tentang pembangunan itu, karena bukan bidang saya. Silakan langsung ke pihak komite,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala SMAN 1 Adiluwih, Bayu Fitrianto Agusta, melalui pesan WhatsApp, membenarkan bahwa pembangunan RKB bersumber dari dana komite.
“Betul, dari anggaran komite yang sudah masuk dalam RKAS 2024/2025 dan telah dirapatkan oleh komite bersama wali murid,” jelas Bayu.
Namun saat ditanya mengenai nominal pungutan dan besaran total anggaran, Bayu menyebut bahwa iuran bersifat tidak tetap. Ia menyatakan bahwa total anggaran pembangunan tiga ruang kelas adalah sekitar Rp180 juta dan seluruh proses pembangunan dikelola oleh komite serta masyarakat.
“Masalah sumbangan berbeda-beda. Anggaran 2024/2025 sekitar Rp180 juta untuk 3 ruang kelas. Pelaksanaannya dikelola oleh komite dan masyarakat,” tegasnya.
Apabila terbukti bahwa pungutan dilakukan secara wajib dengan nominal tertentu tanpa landasan kesukarelaan, maka hal ini berpotensi melanggar ketentuan perundang-undangan, khususnya dalam hal pengelolaan dana pendidikan yang harus bebas dari unsur paksaan.
Pakar pendidikan maupun lembaga pengawas publik dapat menilai bahwa praktik semacam ini berpotensi mencederai asas keadilan, transparansi, dan akuntabilitas, serta menimbulkan beban ekonomi tambahan bagi orang tua siswa.
Pemerintah daerah, Dinas Pendidikan Provinsi, serta Inspektorat diminta untuk segera menelusuri dan mengevaluasi laporan ini guna memastikan bahwa pengelolaan dana di sekolah dilakukan sesuai peraturan dan tidak merugikan masyarakat.
Post a Comment