PRINGSEWU, Lampung – Alih-alih menjadi motor penggerak ekonomi lokal, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pringsewu justru menjadi sorotan tajam publik. Harapan warga agar BUMD bisa berperan aktif dalam pembangunan, justru berbalik menjadi kekecewaan. Pasalnya, dana yang digelontorkan mencapai miliaran rupiah, namun hasilnya sangat jauh dari harapan.
Tokoh masyarakat ABe Alatas membeberkan data mengejutkan: modal yang disetor oleh pemerintah daerah ke BUMD Pringsewu mencapai Rp 5 miliar, namun dividen yang dihasilkan hanya Rp 22 juta. Ya, hanya dua puluh dua juta rupiah—angka yang lebih cocok disebut "recehan" dibanding imbal hasil atas dana publik.
Seleksi Direksi dan Komisaris Diduga Cuma Formalitas
Dalam pernyataannya, ABe juga mengkritik keras proses seleksi jajaran direksi dan komisaris BUMD. Ia menilai bahwa seleksi hanya bersifat formal, karena nama-nama “titipan” elit politik sudah lebih dahulu disiapkan. Peserta seleksi lainnya hanyalah pelengkap demi memberi kesan prosedural.
Situasi ini, menurut ABe, sudah menjadi rahasia umum. Namun, anehnya, praktik semacam ini terus dibiarkan seolah-olah lumrah.
"Kalau BUMD dikelola secara profesional, dengan target kerja dan audit yang ketat, mustahil hasilnya segitu-segitu saja," ujar ABe.
Sebaliknya, BUMD justru tampak seperti tempat 'parkir' politik bagi loyalis kekuasaan. Mereka duduk nyaman, bergaji, tapi tanpa kontribusi nyata.
Solusi Keras: Gagal Beri Hasil? Kembalikan Uang!
Salah satu usulan paling tajam dari ABe adalah kontrak kerja berbasis hasil: setiap pejabat BUMD harus berani menandatangani kontrak kinerja, dan jika gagal, mereka wajib mengembalikan uang negara.
"Ini bukan ide radikal. Ini bentuk tanggung jawab. Karena selama ini, kegagalan tidak pernah diberi sanksi," katanya.
Menurutnya, sistem ini telah menciptakan budaya impunitas: gagal pun tetap duduk, tetap ikut rapat, tetap menikmati fasilitas.
Komentar Publik: “Rakyat Sudah Cerdas, Elit Masih Pura-Pura Bodoh”
Respon masyarakat di media sosial menunjukkan kegeraman yang semakin tinggi. Komentar netizen menunjukkan bahwa kesadaran publik tidak bisa lagi dianggap remeh.
Saeti Aldrin: “Struktural diganti semua kalau tidak mampu.”
Junaedi: “Sadar diri kalau nggak masuk kriteria.”
Hertanto Andanawarih: “Gedor terus, jangan sampai kendor 🔥🔥.”
Agus Ahong S: “Bukan rahasia, semua sudah jadi permainan.”
Hurairi Ung: “Yang punya skill juga harus diakui.”
Iko Purwanto: “Makin mesra aja dengan BUMN, ya?”
Lehen Rakyat: “Coba apa tanggapan Elsa Sari?”
Mansur Jay: “Mungkin saya daftar aja, sepertinya saya lebih cocok...”
Komentar-komentar ini mencerminkan kemuakan rakyat terhadap sistem yang tidak adil, tidak transparan, dan tidak berpihak pada kepentingan publik.
Pringsewu Tak Boleh Jadi Laboratorium Gagal
Pertanyaan pamungkas ABe menyentil keras:
“Bagaimana dengan Kabupaten Pringsewu? Siapa yang akan mengelolanya ke depan?”
Jika sistem ini terus dibiarkan, maka BUMD hanya akan menjadi panggung politik tanpa hasil nyata. Dividen yang kecil, kinerja yang buram, tapi fasilitas tetap jalan.
Catatan Redaksi: Ini Alarm Publik, Bukan Sekadar Kritik
Jika Anda bagian dari sistem dan merasa tersinggung, mungkin karena Anda sedang disebut. Ini bukan tuduhan tanpa dasar, ini cermin kenyataan.
Warga Pringsewu patut bertanya:
Siapa yang duduk di kursi BUMD?
Apa kontribusinya bagi daerah?
Dan, mengapa rakyat hanya dapat "recehan", sementara fasilitas tetap mengalir?
BUMD bukan milik tim sukses. Itu milik rakyat. Dan saat ini, rakyat sudah cukup sabar.
Post a Comment