WPR dan IPR, Solusi yang Dilupakan di Tengah Kisruh Persoalan Tambang Gorontalo



“Isu ini terlalu penting untuk sekedar menjadi bisikan ditengah keringat para penambang yang mengalir di lubang lubang tambang. Ini harus dibawa ke meja rapat pemerintah, dibahas dalam forum legislatif, dan diperjuangkan dalam ruang publik. Karena legalitas bagi tambang rakyat bukan hanya soal izin. Ini soal keadilan,”

Di balik riuh rendah pemberitaan mengenai aktivitas tambang ilegal di Provinsi Gorontalo, ada satu isu penting yang seolah luput dari perhatian publik, yakni belum nampaknya keseriusan pemerintah dalam mengurusi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).

Menurut Ketua Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Boalemo, Abdul Majid Rahman, setiap kali terjadi konflik atau operasi penertiban tambang ilegal, terutama yang menggunakan alat berat, reaksi publik biasanya terpusat pada dua hal: siapa yang harus disalahkan dan bagaimana hukum ditegakkan.

Di satu sisi, kata Majid, sorotan terhadap penggunaan alat berat dan kerusakan lingkungan memang penting untuk disuarakan. Namun di sisi lain, isu dasar yang menyangkut hak hidup dan legalitas bagi para penambang rakyat juga tidak bisa diabaikan begitu saja.

“Di antara sekelumit persoalan tambang di Provinsi Gorontalo, ada hal yang seolah luput dari perhatian publik yaitu keseriusan pemerintah dalam mendorong penetapan WPR dan penerbitan IPR,” kata Majid.

Ia menjelaskan, dalam kerangka hukum nasional, WPR dan IPR bukanlah wacana baru. Sejumlah regulasi di antaranya yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), sudah secara eksplisit memberikan ruang bagi tambang rakyat untuk beroperasi secara legal, selama berada dalam wilayah yang ditetapkan sebagai WPR oleh pemerintah dan mendapat IPR dari pejabat berwenang.

“Namun sampai hari ini, Gorontalo belum ada izin pertambangan rakyat. Artinya, belum ada legalitas bagi para penambang,” ungkapnya.

Akibatnya, lanjut Majid, ribuan penambang rakyat di berbagai wilayah yang ada di Provinsi Gorontalo, terutama di Kabupaten Boalemo, terus berada dalam posisi rawan kriminalisasi. Mereka hidup di antara stigma tambang ilegal dan ketidakpastian hukum yang tak kunjung mendapat solusi.

“Yang terjadi selama ini adalah rakyat yang menambang untuk bertahan hidup dilabeli sebagai pelanggar hukum. Padahal negara punya mekanisme legalisasi, yaitu WPR dan IPR,” ujarnya.

“Dalam konteks ini, pertanyaannya: negara lebih suka menyibukkan diri untuk mengurusi mekanisme legalisasi melalui WPR dan IPR? atau memilih sibuk menindak masyarakat sebagai pelanggar hukum?” timpalnya.

Majid menilai, ketimpangan ini diperparah dengan langkah pemerintah yang seolah tidak menunjukkan inisiatif serius untuk mendorong WPR dan IPR. Padahal, penetapan WPR bukan hanya solusi hukum, tapi juga bagian dari tanggung jawab negara terhadap pemenuhan hak ekonomi rakyat.

Ia menerangkan, pemerintah daerah sebenarnya telah mengusulkan wilayah-wilayah tertentu sebagai WPR ke Kementerian ESDM. Namun, langkah ini sering kali mandek di tingkat birokrasi lokal dengan dalih keterbatasan data teknis.

“Di banyak daerah lain di Indonesia, penetapan WPR telah menjadi pintu masuk untuk tata kelola pertambangan rakyat yang lebih adil dan berkelanjutan. Penambang dilatih, dilindungi, dan diberi akses pada pembiayaan serta teknologi ramah lingkungan. Tetapi di Gorontalo, kami melihat pendekatan seperti ini belum dijadikan prioritas,” terangnya.

Menurutnya, persoalan ini seharusnya tidak menjadi urusan teknokratik semata. WPR dan IPR adalah urusan politik dalam artian, bagaimana negara hadir untuk menjamin hak rakyat atas sumber daya di tanah mereka sendiri. Sayangnya, sambung dia, wacana ini belum mendapat tempat yang layak dalam diskursus publik.

Ia pun memperingatkan, yang paling mengkhawatirkan adalah ketidakjelasan status hukum tambang rakyat ini justru menjadi celah bagi oknum yang tidak bertanggung jawab. Rakyat yang seharusnya dilindungi malah menjadi korban dari sistem yang membiarkan mereka berada di wilayah abu-abu.

Lebih jauh, Majid menegaskan, sudah saatnya diskusi mengenai tambang di Gorontalo bergeser dari narasi tunggal soal pelanggaran hukum menuju perdebatan yang lebih substansial: kapan WPR ditetapkan? Kapan IPR diterbitkan? Dan siapa yang akan bertanggung jawab jika hak hidup penambang rakyat terus diabaikan?

“Publik perlu disadarkan bahwa mendukung legalisasi tambang rakyat bukan berarti membiarkan pelanggaran hukum terjadi, melainkan memastikan keadilan dan kesejahteraan hadir di tengah masyarakat. Sudah saatnya isu WPR dan IPR menjadi pembahasan utama dalam agenda tambang di Gorontalo,” tegasnya lagi.

Karena itu, pungkas Majid, ia meminta para wakil rakyat yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota maupun pemerintah daerah untuk duduk bersama, guna memberikan titik terang, kejelasan hukum, dan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat.

“Isu ini terlalu penting untuk sekedar menjadi bisikan ditengah keringat para penambang yang mengalir di lubang lubang tambang. Ini harus dibawa ke meja rapat pemerintah, dibahas dalam forum legislatif, dan diperjuangkan dalam ruang publik. Karena legalitas bagi tambang rakyat bukan hanya soal izin. Ini soal keadilan,” tandasnya.(*)

Post a Comment

Previous Post Next Post