Pansus Singkong: Pabrik Bisa Ditutup Permanen Jika Abaikan Instruksi Gubernur Lampung


Sebanyak 27 perusahaan pengolahan singkong di Lampung meminta menutup operasionalnya selama tiga hari untuk membahas Instruksi Gubernur Lampung terkait penetapan harga singkong sebesar Rp1.350 per kilogram dengan potongan maksimal 30 persen.

Ketua Panitia Khusus (Pansus) Tata Niaga Singkong DPRD Provinsi Lampung, Mikdar Ilyas, menyampaikan bahwa penutupan sementara ini merupakan permintaan perusahaan.

Namun, ia menegaskan, jika perusahaan tidak mematuhi kebijakan tersebut, Pemprov Lampung tidak akan segan menjatuhkan sanksi tegas, termasuk penutupan permanen.

“Perusahaan memang minta waktu 3 hari untuk menindaklanjuti instruksi gubernur. Tapi kalau tidak diikuti, akan ada sanksi sesuai pelanggaran. Gubernur sudah menyampaikan bahwa Polda dan Satpol PP siap membantu penegakan hukum agar perusahaan tidak semena-mena terhadap petani,” kata Mikdar, Selasa, 6 Mei 2025.

Lebih lanjut, Mikdar mengungkapkan bahwa perusahaan juga mengajukan permintaan agar diperbolehkan menolak singkong yang tidak sesuai standar kualitas.

“Mereka ingin bisa menolak singkong yang terlalu muda, busuk, atau bercampur tanah dan bonggol. Ini demi menjaga kualitas produksi. Tapi kita tekankan, baik petani maupun perusahaan harus sama-sama diuntungkan. Harga yang ditetapkan sudah cukup bagus,” ujarnya.

Mikdar juga menyerukan agar kebijakan harga singkong ini diperjuangkan hingga tingkat nasional. Ia meminta dukungan dari anggota DPR RI dan DPD RI asal Lampung untuk menyuarakan hal ini ke pemerintah pusat.

“Kalau diberlakukan nasional, perusahaan akan lebih patuh, dan petani bisa sejahtera. Kita minta wakil rakyat di pusat untuk mendorong kementerian terkait agar menindaklanjuti ini secara serius,” tambahnya.

Ia mengingatkan, tanpa regulasi nasional, celah permainan harga tetap terbuka, termasuk melalui praktik impor tepung tapioka yang dinilai lebih menguntungkan pihak perusahaan.

“Ada saja perusahaan yang hanya mengejar keuntungan dan tidak punya hati nurani. Mereka bisa memilih impor, padahal itu merugikan petani lokal,” pungkasnya.

Post a Comment

Previous Post Next Post