Oleh : Fahrul Rojik
Indonesia merupakan negara agraris namun memiliki PR besar dalam upaya penyelesaian konflik agraria dan ketimpangan penguasaan lahan. Masalah ini seringkali dipicu oleh perubahan fungsi lahan, serta kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan korporasi dibandingkan rakyat. Dalam konteks ini, organisasi mahasiswa memiliki peran strategis dalam mengawal dan memperjuangkan kebijakan agraria dan hak atas tanah yang adil sesuai dengan semangat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA 1960) merupakan landasan hukum agraria yang dirancang untuk mewujudkan keadilan sosial. Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip seperti; Hak Menguasai Negara (Pasal 2) yang harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Larangan penguasaan tanah secara berlebihan (Pasal 7) untuk mencegah monopoli lahan. Redistribusi tanah bagi masyarakat kecil melalui gerakan land reform by laverege (reforma agrarian atas inisiatif rakyat).
Namun, implementasi UUPA 1960 seringkali terhambat oleh kepentingan politik dan ekonomi, sehingga masih banyak terjadi ketimpangan struktural. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa 1% penduduk Indonesia menguasai lebih dari 50% tanah produktif. Sementara itu, mayoritas petani Indonesia menggarap lahan kurang dari 0,5 hektar atau bahkan tidak memiliki lahan sama sekali. Ketimpangan ini harusnya menjadi kegelisahan organisasi mahasiswa seperti PMII, sesuai dengan nilai dan cita-cita para pendiri.
Selain itu, konflik agraria di Indonesia menunjukkan tren peningkatan, sepanjang tahun 2024, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 295 konflik agraria, naik 21% dibandingkan tahun sebelumnya. Konflik-konflik ini mencakup lahan seluas 1,1 juta hektar dan berdampak pada 67.436 keluarga di 349 desa. Sektor perkebunan, terutama kelapa sawit, menjadi penyumbang terbesar dengan 111 kasus. Selain itu, pendekatan represif dalam penanganan konflik agraria menyebabkan 556 warga menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi sepanjang 2024. Sebanyak 399 orang mengalami kriminalisasi, 149 orang mengalami kekerasan, 4 orang tertembak, dan 4 orang tewas akibat tindakan aparat. Sebagian besar konflik terjadi karena pengambilalihan lahan pertanian oleh perusahaan-perusahaan besar untuk perkebunan, pertambangan, dan proyek infrastruktur.
Secara akumulatif, dalam kurun waktu satu dekade 2014 – 2024 periode pemerintahan, tercatat telah terjadi 2.939 letusan konflik agraria dengan luas mencapai 6,3 juta hektar dan korban terdampak sebanyak 1,75 juta rumah tangga di seluruh wilayah di Indonesia. Angka ini sangat fantastis, hingga menempatkan Indonesia sebagai urutan teratas konflik agraria dari enam negara Asia lainnya, yakni India, Kamboja, Filipina, Bangladesh dan Nepal.
Kondisi ini harus menjadi ladang perjuangan bagi organisasi mahasiswa seperti PMII, sebagai bentuk implementasi Nilai Dasar Pergerakan (NDP), Habluminallah dan habluminannas, hablimninal alam, menjadi pondasi gerakan dalam upaya mewujudkan keadilan, kesejahteraan masyarakat. Pada prakteknya kandungan nilai inilah yang seharusnya di jadikan pisau analisis oleh PMII, dengan berangkat dari keresahan dan kepentingan masyarakat yang terakomodir melaui PMII. Sehingga dalam diskursus nilai nilai NDP dalam jenjang kaderisasi PMII tidak hanya berhenti pada ruang pemikiran saja, ada gerakan konkret yang dilakukan sebagai bentuk implementasi nilai nilai tersebut.
Organisasi mahasiswa memiliki peran penting sebagai katalis perubahan sosial, terutama dalam advokasi hak atas tanah dan keadilan agraria. Beberapa peran tersebut diantaranya; Edukasi masyarakat, PMII dapat menjadi agen pendidikan yang menyebarluaskan informasi terkait hak-hak agraria, khususnya hak atas tanah kepada masyarakat. Misalnya, mengadakan diskusi publik, atau pelatihan paralegal hukum agraria di desa-desa yang rentan terdampak konflik agraria. Riset dan Penelitian, organisasi mahasiswa seperti PMII harusnya merumuskan dan melakukan penelitian terkait konflik agraria dan perampasan hak atas tanah, data yang dihasilkan menjadi dasar untuk mendorong perubahan kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat. Pengorganisasian dan Mobilisasi, PMII juga dapat membantu masyarakat untuk membentuk serikat-serikat tani atau organisasi lokal dengan memegang prinsip perjuangan. Selain itu, PMII dapat memobilisasi aksi-aksi damai untuk menekan pengambil kebijakan agar mendengar aspirasi rakyat. Advokasi Kebijakan, dengan pemahaman hukum yang dimiliki, lembaga hukum, HAM dan demokrasi di tingkat PB PMII seharusnya dapat menjadi jembatan antara masyarakat dan pemerintah, dengan cara mengajukan petisi misalkan, mengadakan audiensi dengan pemangku kebijakan, atau bahkan mengawal gugatan hukum terkait kebijakan agraria yang merugikan rakyat.
Secara historis, tahun berdirinya PMII merupakan tahun lahirnya UUPA yakni 1960, sehingga pada tahun yang sama spirit gerakan dan cita-cita lahir dari latar belakang situasi dan kondisi sosial politik yang tidak jauh berbeda. PB PMII sebagai organisasi mahasiswa tingkat nasional, mempunyai kader yang tersebar diseluruh Indonesia tentu memiliki kemampuan yang cukup untuk melakukan langkah-langkah strategis dalam upaya advokasi kebijakan Agraria dan hak atas tanah. Selain itu, usia PMII yang hampir menuju satu abad, telah banyak melahirkan tokoh terbaik dan tersebar di banyak lini, dari mulai aktivis gerakan, akademisi, pakar, pemerintahan, serta organisasi masyarakat sipil dan lain lain. Hal itu merupakan modal utama yang dimiliki PMII untuk berperan dalam mengatasi masalah-masalah agraria serta hak atas tanah di Indonesia. Artinya, PMII tidak kekurangan sumber daya untuk mendorong upaya kebijakan yang berpihak kepada masyarakat.
Dengan persebaran struktur yang merata, PMII harus responsif terhadap isu-isu perampasan hak atas tanah dan ruang hidup masyarakat. Mengacu pada catatan akhir tahun KPA 2024, Sulawesi Selatan tercatat sebagai provinsi dengan letusan konflik tertinggi di Indonesia dengan angka 37 letusan. posisi kedua ditempati Provinsi Sumatra Utara dengan jumlah letupan mencapai 32 kasus, Jawa Barat dengan 16 letupan konflik, Kalimantan Timur 16 letupan konflik, Jawa Timur sebanyak 15 letupan konflik, Sulawesi Tengah 13 letupan konflik, Sumatra Barat 12 letupan konflik, Sumatra Selatan 11 letupan konflik, Jambi dengan 10 letupan konflik, dan Kalimantan Tengah sebanyak 9 letupan konflik agraria. Jika melihat persebaran tertinggi di wilayah yang terjadi konflik agraria, PMII memiliki struktur lengkap ditingkat daerah tersebut, dari mulai tingkat Provinsi (PKC), Kabupaten (Cabang) hingga regional kampus (Komisariat dan Rayon).
Artinya, modal itu sangat strategis untuk mengawal isu-isu agraria disetiap wilayah. Setidaknya, keberadaan PMII bisa sebagai pemberdaya, pendukung, dan atau pelaku perjuangan hak-hak masyarakat. Mendorong lahirnya berbagai kebijakan dan sistem agraria yang adil dari level daerah hingga nasional, serta melahirkan, merumuskan dan mengkampanyekan gagasan pengetahuan tentang hak atas tanah dan keadilan agraria.
Meskipun demikian, sudah tentu PMII memiliki tantangan dalam melakukan langkah-langkah diatas seperti, tekanan politik dari pihak yang berkepentingan terlebih kultur patronase senior-junior masih sangat kuat, sehingga hal itu menjadi tantangan. Kurangnya sumber daya untuk mendukung upaya advokasi. Fragmentasi yang menyebabkan rapuhnya gerakan organisasi. Namun, untuk mengatasi tantangan ini diperlukan beberapa hal seperti; Penguatan kapasitas kader melalui pendidikan paralegal advokasi dan hukum agraria. Jaringan kolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan media. Solidaritas gerakan yang memperkuat posisi tawar dalam mendorong perubahan kebijakan.
PMII memiliki modal besar untuk menjadi motor penggerak dalam memperjuangkan keadilan agraria dan hak atas tanah. Dengan mengacu pada semangat UUPA 1960, PMII dapat memastikan bahwa kebijakan agraria di Indonesia tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga melindungi hak-hak rakyat kecil. Jika PMII tidak mampu menjalankan fungsi kontrol kebijakan pemerintah, setidaknya mampu menjalankan peran sebagai organisasi yang mendidik masyarakat, untuk menjembatani serta membangun kesadaran kolektif di masyarakat terhadap kebijakan – kebijakan yang ada.
Post a Comment