Umar Ahmad dan Filosofi Jawa


Umar Ahmad pernah bilang, “Saya bukan termasuk orang yang gemar membaca”. Untuk kali ini saya berani bilang dia sedang “berbohong”.

Menurut logika saya, sebagai jurnalis yang menggenggam keyakinan bahwa untuk menjadi penulis yang baik harus didahului perilaku menjadi pembaca yang baik, pernyataan Umar tadi jelas tidak berkesesuaian.

Benar, Umar memang bukan jurnalis. Tapi jangan lupa Umar sangat tertarik dengan literasi. Bahkan dia punya karya. Sebuah buku bertajuk; “Memoar Umar Ahmad” Hati untuk Tubaba.

Kalau ada yang menyela bahwa buku itu ditulis oleh A.S. Laksana seorang sastrawan, pengarang, kritikus sastra, dan wartawan ternama, itu memang benar. Tapi Umar tak akan bekerjasama dengan sosok sepenting itu kalau dia tak punya selera bagus perihal literasi dan keinginan meluaskan jaringan pergaulan.

Menjatuhkan pilihan pada A.S. Laksana sebagai penulis isi alam pikirnya saja sudah menunjukkan seberapa luas kadar kepahaman Umar, bahkan terhadap sastra.

Saya sendiri pernah punya pengalaman cukup banyak mewawancarai atau ngobrol santai dengan Umar. Cara berpikir dan bertuturnya yang runut serta berkelas -namun masih bernuansa mudah dicerna- terasa sangat membantu saya saat menuliskan hasil wawancara atau obrolan tersebut.

Oleh karenanya saya juga berkeyakinan A.S. Laksana turut merasakan hal serupa; Umar Ahmad punya selera bagus sehingga makin memudahkan Laksana membuat tulisan bagus pada buku “Hati untuk Tubaba”.

Tak pelak, kesangsian saya terhadap kebenaran ucapan Umar makin menjadi. Saya pun memendam niat. Nanti, kalau berkesempatan lagi ngopi bareng Umar, saya mau gugat “kebohongan” yang pernah dia ucapkan itu.

Belum lagi datang kesempatan itu, saya menemukan beberapa rekaman video ucapan Umar Ahmad pada momen-momen tertentu yang didokumentasikan. Saya menyimaknya. Satu per satu. Bahkan berulang-ulang. Sampai akhirnya saya tercenung pada isi sebuah video yang mengetengahkan pandangan Umar Ahmad tentang satu kata, “seyogyanya”.

Saya ingin berbagi impresi terhadap pembaca. Untuk itu saya mengutip secara utuh ucapan Umar Ahmad di video yang saya tonton itu. Dia bilang begini:

“Ketika kita memposisikan diri sebagai gelas kosong yakinlah akan datang orang-orang yang ingin mengisi gelas kosong itu. Dan sampai hari ini saya juga termasuk orang yang beruntung karena dipertemukan dengan banyak orang yang ingin membangun visi yang sama”.

Pada bagian selanjutnya Umar menambahkan, “Saya tuh terinspirasi dengan kata seyogyanya. Kita tahu kata seyogyanya berasal dari kata Yogyakarta. Kenapa diambil dari kata Yogyakarta? Karena orang Yogya dianggap santun, ramah dan baik hati.”

“Jadi, kata sebaiknya yang sering kita gunakan, telah disepadankan dengan kata seyogyanya. Dia berubah dari kata tempat menjadi kata sifat. Perubahan itu merupakan perjuangan yang dilakukan”.

Nah, apa masih percaya kalau Umar bukanlah seorang pembaca yang baik? Bahkan, makna satu kata (seyogyanya) pun sampai dia urai hingga ke akarnya. Terlebih, nilai yang digalinya bukan budaya Lampung yang notabene cukup dikenalnya, melainkan budaya atau filosofi adiluhung Jawa.

Saya tercenung makin dalam. Kenapa Umar sampai memberi penekanan pada kalimat, “Saya bukan termasuk orang yang gemar membaca”? Padahal, pola pikir dan tutur katanya mencerminkan hal sebaliknya.

Jawa, ya…bahkan hingga filosofi Jawa pun dipikirkan olehnya. Filosofi Jawa? mungkinkah pergaulan Umar Ahmad dengan warganya di Tubaba dan perjumpaannya dengan warga tani di daerah lain yang banyak di antaranya bersuku Jawa telah mentransformasi banyak hal. Termasuk cara pandang orang Jawa untuk mengejawantahkan ilmu padi yang makin berisi makin merunduk?

Serta merta terlintas dalam benak saya tentang pepatah Jawa; “Aja adigang, adigung, adiguna” yang bermakna hendaklah senantiasa menjaga sikap atau tata krama dan tidak sombong akan status. Jagalah sikap di mana pun dan dengan siapa pun berhadapan.

Filosofi ini juga mengajarkan bahwa roda kehidupan selalu berputar. Hari ini mungkin sedang menjadi primadona karena pesona dan prestasi. Namun, semua akan mudah tergantikan jika bersikap sombong dan merendahkan orang.

Jleb! usai merunut perenungan tadi saya mendadak mengurungkan niat hendak menggugat Umar Ahmad yang sempat saya anggap berbohong. Karena sangat mungkin kalau pun tetap saya persoalkan, Umar akan menanggapinya lewat seulas senyum, karena dia menggenggam pepatah “aja adigang, adigung, adiguna”.

Atau, boleh jadi, Umar memang jarang membaca buku secara fisik maupun digital. Namun dia senantiasa membaca kehidupan serta unsur-unsur hakiki di dalam kehidupan itu sendiri. Sangat mungkin! (*)

Post a Comment

Previous Post Next Post