Catatan Kecil dari Ujung Sumatera



Bandarlampung, UNDERCOVER - Bisnis Transportasi Online hingga saat ini masih menyimpan permasalahan yang sangat kompleks dari berbagai segi. Prinsip kemitraan yang dianut dalam hubungan antara driver Ojek Online dengan Aplikator dalam prakteknya masih jauh dari prinsip kesetaraan. Dalam pasal 1 ayat 13 UU Nomor 20 tahun 2008 tertulis Kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dengan usaha besar.

Dalam prakteknya, posisi Mitra seperti Mitra Pengemudi Ojek Online sangat lemah. Tak pernah ada negoisasi dalam perjanjian kemitraan. Tak pernah ada kata kesetaraan dalam perjanjian antara aplikator dengan mitranya.

Berbagai langkah sudah pernah dilakukan. Mulai dari usulan hingga aksi-aksi sejak bertahun-tahun lalu. Namun semua kandas dan bermuara pada satu hal yaitu belum diakuinya roda dua sebagai angkutan umum oleh pemerintah republik Indonesia sampai saat ini. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) mengatur kendaraan roda dua dapat menjadi angkutan orang, tetapi tidak dapat menyelenggarakan angkutan umum orang dan/atau barang. Karena, kendaraan roda dua bukan kendaraan bermotor umum, tetapi kendaraan bermotor perseorangan.

Sempat ada angin segar berupa Permenhub No. 12 tahun 2019 yang menjadi satu-satunya aturan yang pernah dibuat oleh pemerintah terkait bisnis Ojek Online. Namun sebagi sebuah produk diskresi dari Kementrian Perhubungan, maka Permenhub no.12/2019 ini terkesan sebagai aturan banci yang selain tidak mengatur sangsi jika ada pelanggaran, juga tidak bisa menjadi acuan hukum untuk sekedar sebuah peraturan daerah (Perda) baik di Propinsi atau Kabupaten/Kota. Karena Pemerintah Daerah tak berani beresiko membuat produk hukum yang berpotensi melanggar UU nomor 22/2009. Ironis dan menyedihkan saat ini melihat Pemerintah seperti setengah hati berjuang untuk sekedar sebuah regulasi yang menyangkut hajat hidup jutaan rakyat Indonesia yang menggantungkan penghasilannya menafkahi keeluarga dari bisnis ojek online. Bahkan DPR RI sebagai perwakilan rakyat pun ibarat acuh dan tak memperjuangkan regulasi disaat sudah banyak audiensi dan bahkan aksi dilakukan oleh pengemudi Ojek Online di seluruh Indonesia.

Amandemen terhadap UU 22/2009 adalah keharusan dan solusi konkrit terhadap permasalahan dunia Ojek Online dan seluruh stakeholder (Mitra, Aplikator, Pemerintah). Tanpa adanya pengakuan jelas terhadap eksistensi pengemudi Ojek Online, maka segala janji Pemerintah dan DPR RI hanyanya menjadi lips service atau sekedar gula-gula pemanis dimasa kampanye. Semoga pemerintah dan wakil rakyat di DPR sadar bahwa menghapus amandemen UU No.22 tahun 2009 dari prolegnas 2020 dan bahkan 2021 adalah sebuah kesalahan besar karena mengabaikan kepentingan jutaan mitra ojek online yang tergadai nasibnya pada aplikasi tanpa ada satupun perlindungan dan campur tangan pemerintah. Semoga penundaan pembahasan amandemen ini bukan karena mengatur tahun politik yang akan mulai bergeliat di 2022, karena jika itu yang terjadi maka sungguh pemangku kepentingan di negeri ini sudah mengabaikan hajat hidup pengemudi ojek online seluruh Indonesia.(Red)

Post a Comment

Previous Post Next Post