BANDAR LAMPUNG – Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, mengungkap kondisi kritis yang dihadapi petani singkong di wilayahnya. Sejumlah pabrik tapioka di Lampung tidak lagi sanggup membeli singkong dari petani karena gudang mereka sudah penuh, sementara harga tepung tapioka dunia anjlok dan produk impor membanjiri pasar.
Hal ini disampaikan Mirza saat melakukan pertemuan dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, bersama sejumlah pihak terkait, termasuk Perhimpunan Pengusaha Tepung Tapioka Indonesia (PPTTI) dan Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI).
"Intinya membahas bagaimana solusi agar harga singkong bisa naik. Tata niaganya dari hulu sampai hilir harus diatur. Ini semua soal supply dan demand," kata Mirza, Jumat (19/9/2025).
Faktor Penyebab Krisis
Menurut Mirza, harga tapioka dunia telah turun tajam dari Rp6.000 per kilogram menjadi Rp4.500 per kilogram, membuat produk lokal kalah bersaing. Kondisi ini diperparah dengan stok tepung tapioka yang menumpuk di pabrik-pabrik.
Oleh karena itu, Mirza mendesak pemerintah pusat untuk segera turun tangan dengan membuat regulasi yang bisa mengendalikan tata niaga singkong dan menaikkan harga di tingkat petani.
Usulan Solusi: Lartas Impor dan HET
Gubernur Mirza mengusulkan dua langkah strategis untuk mengatasi masalah ini:
Penerapan Larangan Terbatas (Lartas) Impor Tapioka: Kebijakan ini dinilai mendesak untuk membendung masuknya produk impor dan menstabilkan harga di pasar domestik.
Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET): Dengan HET, industri hilir akan diwajibkan untuk membeli tapioka lokal dengan harga yang lebih tinggi. Hal ini diharapkan akan berdampak langsung pada harga beli singkong petani yang lebih layak.
Mirza juga menyebutkan bahwa Kementerian Pertanian melalui Surat Nomor B-2218/TP.220/C/09/2025 tertanggal 9 September 2025 sebenarnya telah menyepakati harga ubi kayu petani sebesar Rp1.350 per kilogram dengan rafaksi maksimal 15%. Selain itu, ditetapkan juga bahwa tata niaga tepung tapioka dan jagung menjadi komoditas lartas.
Meskipun kesepakatan ini sudah ada, Mirza menyatakan bahwa realitas di lapangan belum mencerminkan implementasi dari keputusan tersebut. Para petani dan industri kini menantikan langkah konkret dari pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah ini.
Post a Comment