Kepatuhan Pajak SGC dan Luka Lama yang Terbuka Kembali



Oleh: Hendri Std

Belasan tahun lalu, saya duduk di hadapan seorang mantan pejabat daerah yang menyerahkan dua lembar HVS dan berkata lirih, “Rahasia SGC ada di situ.” Dari sanalah, kisah panjang tentang dugaan ketidakpatuhan pajak Sugar Group Companies (SGC) mulai saya susun. Waktu berlalu, tapi luka itu tak kunjung sembuh—malah kini kembali menganga.

Perusahaan besar seperti SGC—produsen gula nasional yang membentangkan bisnisnya di atas ratusan bahkan ribuan hektar tanah Lampung—selayaknya menjadi contoh dalam kontribusi fiskal dan sosial terhadap daerah. Tapi kenyataan menunjukkan sebaliknya.

Berulang kali, perusahaan ini dikaitkan dengan tunggakan pajak, ketertutupan data lahan Hak Guna Usaha (HGU), hingga kontribusi sosial yang nyaris tak terasa. Bahkan pada hari besar keagamaan seperti Idul Adha, alih-alih memberi bantuan substansial, yang dikirim hanyalah kambing kacang. Simbolisme yang sangat menyakitkan bagi masyarakat yang hidup berdampingan dengan jantung industri ini.

Tak tanggung-tanggung, dalam RDPU bersama Komisi II DPR RI dan Pemerintah Provinsi Lampung, terungkap bahwa SGC masih menunggak pajak kendaraan bermotor hingga ratusan juta rupiah. Alat beratnya pun baru dikenakan pajak setelah data harganya dimasukkan ke sistem. Semuanya berjalan setelah desakan publik, bukan atas kesadaran sendiri.

Ironisnya, pembayaran dilakukan lewat jalur pemutihan pajak, program yang sejatinya ditujukan untuk meringankan masyarakat kecil yang kesulitan ekonomi. Bagaimana bisa perusahaan sekelas SGC ikut menikmati fasilitas yang diciptakan untuk rakyat biasa? Di sinilah letak persoalan mendasarnya: keadilan fiskal yang kabur.

Lebih dari sekadar persoalan nominal, ini menyangkut etos dan moralitas korporasi. Bagaimana mungkin perusahaan yang membanggakan hasil produksinya ke seluruh penjuru negeri, justru tak mampu atau tak mau membayar kewajiban dasarnya kepada daerah asalnya? Jika bicara soal nilai—baik ekonomi maupun sosial—SGC justru sedang menunjukkan nilai yang negatif.

Mungkin benar kata seorang anggota DPRD yang enggan disebut namanya: "SGC hanya pakai kalkulator dagang." Semua diukur dari sisi untung rugi. Jika tak ada untung langsung, kontribusi sosial dan fiskal dianggap tidak perlu. Tapi jika demikian, perusahaan ini sejatinya telah kehilangan akar moral dan tanggung jawabnya sebagai bagian dari masyarakat Lampung.

Kini, di bawah kepemimpinan Gubernur Rahmat Mirzani Djausal dan dukungan publik, bola panas itu mulai digulirkan kembali. Tapi kita tidak boleh puas hanya dengan pembayaran sebagian pajak atau janji-janji manajemen. Ini waktunya untuk audit menyeluruh, pengukuran ulang HGU, serta transparansi pajak dan CSR.

Kita tidak membenci perusahaan besar. Tapi kita menolak ketika kekuatan ekonomi dijadikan tameng untuk menghindar dari tanggung jawab. Kepatuhan terhadap pajak bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan juga ukuran sejauh mana sebuah korporasi menghormati tanah tempatnya berpijak.

Jika SGC masih ingin dihormati, maka sudah saatnya mereka mulai menghormati Lampung—bukan dengan baliho, bukan dengan iklan, tapi dengan kepatuhan dan kontribusi nyata.

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi.

Post a Comment

Previous Post Next Post