Pemerintah Provinsi Lampung dan Kementerian Kehutanan melalui Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) kembali membangun narasi konservasi untuk menutupi kegagalan tata kelola kawasan hutan dan pengawasan lingkungan selama puluhan tahun. Gubernur Lampung Bersama Kapolda Lampung, Danrem 043/Gatam, Perwakilan Balai Besar TNBBS, Dinas Kehutanan Provinsi Lampung dan BIN Daerah Lampung pada kunjungan ke Kecamatan Bandar Negeri Suoh tanggal 27 April 2025 menyebutkan ada sekitar 7.000 “Perambah” bermukim dan berkebun di TNBBS.

Dalam pemberitaan, Polda Lampung menyebut akan mendukung Langkah Gubernur Lampung untuk menertibkan “Perambah” di TNBBS terhadap 4.517 kepala keluarga yang berada di 2 Kecamatan, di Kecamatan Bandar Negeri Suoh, perambahan terjadi di beberapa desa seperti Desa Bandar Agung (1.121 KK), Desa Ringinjaya (186 KK), Desa Gunung Ratu (96 KK), Desa Bumi Hantatai (656 KK), Desa Negeri Jaya (197 KK), Desa Tanjungsari (19 KK), Desa Tembelang (323 KK), dan Desa Tri Mekar Jaya (61 KK). Sementara di Kecamatan Suoh, tercatat Desa Sukamarga (401 KK), Desa Ringinsari (120 KK), Desa Banding Agung (172 KK), Desa Suoh (838 KK), dan Desa Tugu Ratu (327 KK).
Irfan Tri Musri Direktur Eksekutif Daerah WALHI Lampung Menyebutkan bahwa secara history keberadaan Masyarakat yang dianggap “Penggarap” oleh pemerintah bukan merupakan kejadian yang baru terjadi dalam kurun waktu 5-10 tahun ke belakang. Melainkan mereka merupakan Masyarakat yang memiliki keterbatasan akses sumber daya alam di luar Kawasan hutan yang kemudian memanfaatkan Kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Narasi penertiban ini bukan tindakan penyelamatan lingkungan, melainkan pemutihan dosa kolektif negara yang selama ini menutup mata dan kini melempar kesalahan ke pundak rakyat. Pemerintah tahu, tapi diam, Sekarang mau tertibkan?. Apalagi terdapat narasi "Dalam waktu tidak lama, akan ada satu tindakan atau aksi, dimulai dari sosialisasi hingga aksi nyata menjaga kawasan hutan". Narasi aksi nyata menjaga Kawasan hutan ini tentunya menuai banyak persprektif di Masyarakat pada umumnya, karena ada kemungkinan Upaya-upaya pengusiran petani dari Kawasan hutan akan Kembali terjadi di Provinsi Lampung.
Keberadaan Masyarakat/petani di dalam Kawasan hutan selama ini juga terjadi akibat terdapat fasilitasi dari pemerintah, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya lebih dari 100 Desa definitive di dalam Kawasan hutan, adanya infrastruktur jalan dan Listrik hingga adanya fasilitas pemerintah dan kantor pemerintahan yang masuk dalam Kawasan hutan.
Sebenarnya Pemerintah Provinsi Lampung Bersama Forkompimda dan Pihak terkait dapat belajar dari masa lalu Dimana Upaya pengusiran paksa Masyarakat dari Kawasan hutan bukan hal yang efektif dan gagal dilakukan Pemerintah. Dan seharusnya pemerintah saat ini dalam Upaya penertiban juga harus mengacu pada asas keadilan baik bagi manusia, satwa dilindungi dan juga termasuk lingkungan hidup yang sehat dan berkeadilan.
Irfan menambahkan hal yang harus dilakukan Pemerintah Provinsi Lampung saat ini adalah mengacu pada apa yang dilakukan pemerintah selama 10 tahun terakhir ini melalui program perhutanan sosial sebagai Solusi penyelesaian konflik di dalam Kawasan hutan dan perbaikan fungsi Kawasan hutan karena sejauh ini sependek pengetahuan WALHI Kemitraan Konservasi di TNBBS sangat minim atau bahkan mungkin tidak berjalan. Pemerintah Provinsi Lampung dapat memulai dengan melakukan pendataan terhadap objek dan subjek Garapan di TNBBS karena tidak dipungkiri pasti terdapat objek-objek Garapan yang memiliki area cukup luas serta terdapat juga potensi subjek penggarap yang tidak tepat sasaran. Baru setelah itu Pemerintah Provinsi Lampung mendorong kemitraan konservasi terhadap objek Garapan di TNBBS, melakukan Upaya bertahap dalam Memindahkan pemukiman, penurunan paksa dan pengambil alihan objek Garapan yang tidak sesuai hingga pemberian sanksi terhadap oknum-oknum yang terbukti “bermain” dalam pengelolaan TNBBS selama ini. Masyarakat dapat menjadi subjek dalam pemulihan Kawasan hutan dan lingkungan di Kawasan TNBBS jika pemerintah dapat serius mendorong kemitraan konservasi ketimbang pemerintah memaksa untuk melakukan penertiban dan pengsiran yang kemudian akan semakin memperparah Tingkat kemiskinan di Provinsi Lampung dan juga berpotensi meningkatkan angka kriminalitas.
Pernyataan Kapolda Lampung Irjen Pol Helmy Santika “Sosialisasi akan terus dilakukan. Tetapi jika ada yang ngeyel, kami akan lakukan penegakan hukum”. Itu merupakan pernyataaan yang mengintimidasi masyarakat tanpa berpikir akan direlokasi kemana masyarakat yang telah ada dengan jumlah ribuan jiwa. Jika relokasi yang akan menjadi langkah pemerintah, ini jusru akan menimbulkan permasalahan baru, Karena tentunya masyarakat yang direlokasi membutuhkan tempat tinggal, pekerjaan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Pertanyaan nya apakah pemerintah siap menanggung ini semua tanpa mengorbankan rakyat akibat kelalaian pemerintah dalam mengurus hutan.
Di satu sisi, negara bersuara keras terhadap rakyat kecil. Di sisi lain, perusahaan besar yang secara nyata membuka ribuan hektare lahan dan menyebabkan kerusakan ekologis justru dibiarkan. Contohnya, dalam kasus pembakaran lahan untuk panen tebu, perusahaan-perusahaan besar diuntungkan, sementara rakyat kecil yang menggantungkan hidup dari hutan ditindas. Bahkan, beberapa kebijakan justru memfasilitasi perusakan lingkungan, seperti penerbitan Peraturan Gubernur yang melegalkan pembakaran lahan untuk panen tebu, yang telah menyebabkan kerugian lingkungan hingga Rp17 triliun.
Post a Comment