Berujung Kisruh Sewa Tanah Kota Baru

Lampung - Keputusan Gubernur Lampung tentang sewa tanah Kota Baru tuai polemik dengan munculnya penolakan masyarakat dari tiga desa; Desa Sinar Rejeki, Desa Sindang Anom, Desa Purwotani.


Petani penggarap lahan di atas tanah aset milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung menolak Keputusan Gubernur Lampung Nomor: G/293/VI.02/HK/2022.

Gubernur Lampung Arinal Djunaidi menetapkan sewa tanah sebesar Rp300 per m² per tahun di lahan Kota Baru, Jati Agung, Lampung Selatan.

“Nggak ada perjanjian sewa tanah. Tidak dikasih tahu,” ujar Marhan seorang petani penggarap dari Desa Sri Rejeki.

Marhan bersama ratusan petani penggarap lahan Kota Baru menggelar aksi unjuk rasa menolak Keputusan Gubernur Lampung.

Dia mengaku kerap diintimidasi oleh Satuan Tugas (Satgas) yang menjaga Kota Baru, aset Pemprov Lampung tersebut.

“Mereka nunjukin SK (sewa tanah), tapi enggak tahu benar atau tidaknya,” kata dia.

Intimidasi dari Satgas juga dialami oleh petani penggarap lainnya.

“Membajak dilarang, tanaman yang sudah ada disemprot mati. Sudah jelas-jelas ada tanaman jagung, disemprot,” ujar Romlan.

Pria paruh baya ini menuturkan tanaman jagung miliknya seluas setengah hektare disemprot oleh Satgas tanpa ada pemberitahuan.

“Tahu-tahu sudah mati. Alasannya, sudah enggak boleh digarap, ada keputusan dari gubernur,” kata dia.

Penggarap lahan Kota Baru lainnya, Untung, mengatakan Satgas menjadi momok bagi masyarakat petani di desanya.

“Ngemob-ngemob masyarakat, tanah diambil, nanti disewakan sama orang lain dari kampung lain. Itu sudah banyak,” ujar dia.

Bahkan, lanjut Untung, dirinya juga diminta fotokopi e-KTP dan Kartu Keluarga (KK) oleh Satgas.

“Kemarin itu dimintain fotokopi e-KTP sama KK, itu artinya untuk apa? Penjelasannya enggak ada,” kata dia

“Setelah itu, dia (Satgas) menunjukkan kuitansi untuk tanah sewaan. Kuitansi itu belum ada yang bayar karena sudah seringkali dibohongi,” lanjut Untung lagi.
Kehadiran Satgas di Kota Baru menjadi menambah polemik masyarakat petani penggarap lahan aset Pemprov Lampung.

Kabid Kewaspadaan Nasional dan Penanganan Konflik Kesbangpol Provinsi Lampung, Christian Thalolu, berjanji akan menelusuri hal tersebut.

“Kita ini tidak boleh sepihak. Saya tidak bisa menjudge Satgas dan masyarakat. Nanti kita rapatkan, ada bukti-bukti, dan kita selesaikan secara arif dan bijaksana,” kata Christian usai menemui pengunjuk rasa.

Christian Thalolu mendampingi Kabid Pengelolaan Aset Daerah BPKAD Provinsi Lampung, Meydiandra.

Keduanya mewakili Gubernur Lampung menerima aspirasi petani penggarap lahan Kota Baru.

Namun, Christian menolak menjelaskan lebih lanjut terkait tugas dan tanggung jawab Satgas di Kota Baru.

“Saya belum bisa berkomentar, saya tidak menangani bidang itu. Nanti, akan kita rapatkan solusi yang terbaik. Tidak mungkin Pak Gubernur menyusahkan rakyatnya,” ujar dia.

Sementara, Meydiandra mengatakan Keputusan Gubernur Lampung terkait sewa tanah aset Pemprov di Kota Baru sesuai Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.

“Panduan kita ya itu. Yang kita lakukan itu sudah diatur dalam ketentuan pengelolaan aset daerah. Kita berjalan sesuai ketentuan undang-undang,” kata dia.

Keberadaan petani penggarap di atas lahan milik aset Pemprov Lampung, ujar dia, harus jelas legalitasnya.Saat ini, kata Meydiandra, Pemprov Lampung sedang mendata jumlah petani penggarap tanah di Kota Baru.

“Tentunya berlaku ketentuan-ketentuan tentang pengelolaan aset. Dan itu tidak bisa, artinya lahan itu begitu saja, harus ada legalitas keberadaannya di sana,” jelas dia.

Meydiandra juga menyampaikan bahwa Keputusan Gubernur Lampung Nomor: G/293/VI.02/HK/2022 tertanggal 22 April 2022 akan efektif berlaku mulai Januari 2023.

“SK tersebut sudah sosialisasikan kepada masyarakat saat pertemuan di Ruang Rapat Kantor Kecamatan Jati Agung, Lampung Selatan, pada 20 September 2022,” kata dia.
LBH Bandar Lampung memberikan pendampingan hukum kepada petani penggarap tanah Kota Baru.

Sewa tanah Kota Baru tuai polemik. Meydiandra mengatakan total luas lahan garapan mencapai 800-900 Ha.

“Sesuai SK Menteri Kehutanan yang dihibahkan kepada kita, eks Register 40, seluas 1.308 Ha. Itu sudah ada jalan, embung, perkantoran. Artinya, yang digarap tidak seluas itu. Mungkin, perkiraan saya, kurang lebih 800-900 Ha,” ujar dia.

Perjanjian sewa tanah Kota Baru diprioritaskan kepada masyarakat di 10 desa penyangga.

Meliputi Desa Sumberjaya, Desa Sinar Rejeki, Desa Gedung Agung, Desa Margodadi, Desa Margorejo, Desa Margomulyo, Desa Purwotani, Desa Side, Desa Sidoarjo, dan Desa Sindang Anom.

Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Lampung, lanjut dia, mendapatkan sorotan terkait tata kelola aset Pemprov di Kota Baru.

“Kami di BPKAD kan disorot juga. Kami harus mengelola lahan itu sampai nanti tiba saatnya itu dibangun, harus kondisi clear,” pungkas dia.

Direktur LBH Bandar Lampung, Suma Indra Jarwadi, yang turut mendampingi petani penggarap tanah Kota Baru mengingatkan Pemprov Lampung terkait eksistensi masyarakat setempat.

“Berbicara soal aset negara, Pemprov Lampung perlu memperhatikan bahwa sebelum Pemprov melakukan pelepasan hutan Register 40 untuk menjadi ibu kota baru Provinsi Lampung, sudah ada masyarakat yang menggarap lahan di register sejak tahun 1960-an hingga hari ini,” jelas Indra.

Kelompok masyarakat yang menggarap lahan Register 40 pada masa itu, lanjut dia, semakin berkembang dengan berdirinya Desa Purwotani.

“Dalam konteks kebijakan SK yang telah dikeluarkan oleh Pemprov, saya rasa, sama sekali tidak melibatkan masyarakat dalam penerbitan SK tersebut,” tegas Indra.

LBH Bandar Lampung, ujar Indra, mendorong adanya ruang partisipasi terbuka kepada masyarakat oleh Pemprov Lampung agar bisa duduk bersama dan berbicara terkait polemik sewa tanah Kota Baru.

“Kemudian, mencabut SK Gubernur Lampung dan bubarkan satgas yang dibentuk oleh BPKAD, karena sangat meresahkan masyarakat lewat intimidasi yang dilakukan terhadap masyarakat,” kata Indra.

Post a Comment

Previous Post Next Post