Kenaikan Harga BBM dan Kemiskinan



"Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jika salah penanganan akan mengakibatkan kehancuran ekonomi dan ketidakpercayaan rakyat terhadap penguasa. Inflasi akan makin kacau berdampak terhadap peningkatan angka kemiskinan dan kesenjangan yang makin lebar antara si kaya dan si miskin"

Ibu Wa Ode, Seorang pedagang nasi kuning di pasar tradisional Daruba Pulau Morotai mengungkapkan, Keuntungan dari penjualan nasi kuning biasanya 100.000 rupiah sampai 200.000 rupiah perhari, menurun menjadi 50.000 rupiah bahkan terkadang hanya mendapatkan biaya becak motor pulang pergi pasar setiap harinya. "Krisis ekonomi wae, beberapa bulan terakhir disini" Kata Wa Ode melihat dagangannya yang kurang laku 5 bulan terakhir. Warung Wa Ode merupakan langganan para pekerja informal seperti buruh bangunan, tukang becak motor, pedagang sayur, kuli pasar, dan pedagang kecil lainnya.

Di tempat yang sama, Fandi seorang petani kelapa asal Desa Loleo Pangeo mengeluhkan harga kopra ysng turun beberapa bulan terakhir, "Harga kopra dari 9.000 rupiah jatuh ke harga 4.000 rupiah per kilogram di kampung - kampung sekarang". Dampaknya petani kewalahan membiayai anak - anaknya yang sedang menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi. "Uang susah dan banyak anak - anak terancam putus sekolah" Kata Pandi.

Begitupun dengan Bitri, nelayan asal Desa Bere - Bere mengeluhkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), "Kami itu beli BBM harga 10.000 rupiah perliter, padahal harga di SPBU hanya 7,650 rupiah, tapi mau gimana lagi, kami tidak melaut kalau tidak membeli harga demikian, karena BBM langka disini. lebih parah lagi ketika beli bensin eceran harganya 15.000 rupiah perbotol". Nelayan yang menggunakan perahu fiber dengan mesin 15 PK biasanya mencari ikan cakalang dan ikan tuna setiap harinya. Setiap nelayan rata- rata membutuhkan 25 liter atau satu galon perhari. Disatu sisi harga hasil tangkapan terkadang dibeli murah dengan berbagai alasan dan teknik menjerat utang terhadap nelayan.

Cerita diatas terjadi sebulan sebelum harga BBM naik. Sebuah gambaran daya beli pekerja informal menurun karena kurangnya pendapatan, Harga kopra yang dipermainkan oknum - oknum tengkulak, dan mafia mempermainkan harga BBM subsidi untuk nelayan dan kalangan kelas bawah lainnya.

Pengumuman kenaikan harga BBM mulai dari pertalite naik dari harga 7,650 rupiah menjadi 10.000 rupiah, pertamax naik dari harga 12.500 rupiah menjadi 14.500 rupiah dan solar naik 5.150 rupiah menjadi 6.800 rupiah. Kenaikan harga BBM tentu akan memperparah situasi pekerja informal, petani dan nelayan kedepan. Kenaikan BBM akan berdampak terhadap meningkatnya biaya arus lalu lintas komoditi dan sembako serta mobilitas rakyat baik itu transportasi udara, transportasi laut maupun transportasi darat.

Pemerintah gembar - gembor 500 triliun untuk subsidi rakyat terutama minyak, gas, pupuk, perumahan dan kredit usaha rakyat (KUR). Namun kenyataan, pengalihan subsidi BBM hanya 24 triliun. Apakah subsidi Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar 24 triliun rupiah terhadap 20,65 juta penduduk dan 16 juta pekerja dapat mengurangi angka kemiskinan ?, jawabannya, tentu tidak. Subsidi BLT 150.000 rupiah perbulan selama empat bulan dan subsidi buruh yang memiliki gaji 3,5 juta perbulan sebesar 600.000 rupiah. Untuk kawasan Indonesia Timur khususnya Maluku Utara hanya dengan biaya 150.000 rupiah hanya cukup menutupi kebutuhan sehari, mengingat biaya hidup cukup tinggi dibandingkan daerah lain. Subsidi BLT hanya memperpanjang deretan bantuan program kemiskinan yang karitatif dengan menjadikan rakyat sebagai pengemis. Program kemiskinan untuk meningkatkan daya beli dengan mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi tentu tidak menyelesaikan persoalan, karena masalah mendasar adalah ketidakadilan dalam penanganan sektor - sektor unggulan yang digeluti mayoritas kelas bawah. Lalu, dikemanakan subsidi 500 triliun yang digembar -gemborkan sebelumnya ?.

Langkah dalam mengatasi inflasi, krisis energi dan pengurangan angka kemiskinan yakni pertama, Bongkar kerja - kerja mafia BBM. Pola kerja mafia biasanya bermain pada BBM subsidi mulai dari kapal tengker sampai tingkat SPBU. Kelas bawah jarang mendapatkan alokasi BBM subsidi seperti yang dialami nelayan diatas. Akhirnya kelas bawah kebanyakan menikmati BBM eceran yang harganya jauh lebih mahal, untuk pertalite harga antara 15.000 sampai 18.000 perbotol saat ini. Hal ini terjadi juga di kawasan industri. Mafia terkadang selundupkan BBM untuk dijual miring di kawasan industri yang seharusnya memakai BBM non subsidi. Ironis kelas bawah menikmati BBM dengan harga mahal, sedangkan industri menikmati BBM Subsidi. Hal itu terjadi karena kurangnya pengawasan terhadap aksi mafia BBM dan tentu ada saja oknum oknum tertentu memanfaatkan situasi di tengah penderitaan rakyat.

Kedua, BLT merupakan program bersifat karitatif dan menciptakan pola manja dan berpangku tangan menunggu disuap. Berdasarkan kasus yang dialami pekerja informal, petani dan nelayan diatas, maka program yang dibutuhkan adalah cukup melindungi dan menaikkan harga komoditi serta menaikkan upah buruh informal. Harga komodoti kopra dan hasil perikanan yang rendah, disatu sisi biaya produksi dan transportasi yang meningkat mengakibatkan pengeluaran dan pemasukan tidak seimbang. Jikalau harga kopra dan hasil perikanan dinaikkan, maka otomatis akan meningkatkan daya beli.

Ketiga , Program program kemiskinan yang ada hanya bertumpu pada program - program yang sudah ada dari berbagai Kementerian. Dari pengamatan beberapa desa, pemanfaatan dana desa kebanyakan bersifat fisik sehingga uang tingkat berputar di tingkat desa. Seharusnya peningkatan ekonomi desa dengan menyalurkan 70 persen Dana Desa untuk kegiatan produktif kelas bawah ditengah situasi seperti sekarang. Tim TNP2K Kabupaten/Kota seharusnya turun bawah (turba) membantu Pemerintah Desa dalam merumuskan Peraturan Desa (PERDES) Kewenangan Desa, dimana terdapat skema untuk perencanaan penurunan angka kemiskinan, agar kelas bawah merasakan dampak yang berarti dengan adanya dana desa.

Terakhir, polarisasi perang Rusia melawan Ukraina berdampak terhadap perang energi secara global. Negara - negara Eropa sudah mulai kewalahan ketika pipa gas dihentikan. Biaya energi makin tinggi yang menimbulkam krisis kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya. Untuk itu agar tidak terjadi dalam negeri, maka dibutuhkan gerakan revolusioner dari tingkat desa untuk mengubah ketergantungan terhadap energi tak terbarukan. Sudah waktunya kemandirian energi dari sumber daya terbarukan dilaksanakan secara sistematis.

Untuk mengatasi segala problem yang ada tidak melulu dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang karitatif untuk pekerja informal, nelayan dan petani. tetapi butuh melindungi sektor sektor produksi kelas bawah dari cengkaraman mafia BBM dan tengkulak serta menaikkan upah pekerja informal agar ekonomi kelas bawah bisa naik kelas.

Ekonomi kelas bawah naik kelas, maka akan menyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi yang berdampak terhadap pengurangan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan ekonomi. Pelibatan kelas bawah dalam program energi terbarukan sangat penting untuk mendukung kemandirian energi dari tingkat bawah hingga nasional. Hal itu harus disertai kepastian subsidi 500 triliun untuk rakyat agar tepat sasaran setiap tahunnya kedepan.

Kalau yang terjadi malah sebaliknya, maka ancaman kehancuran ekonomi di depan mata yang berdampak pada inflasi tak terkendali, peningkatan kemiskinan dan jurang ketimpangan makin tinggi antara si kaya dan si miskin.

Post a Comment

Previous Post Next Post