Pancasila Sebagai Perekat Dasar Hubungan Dalam Berbangsa



A. Sejarah Singkat Lahirnya Pancasila

Berdirinya suatu bangsa yang merdeka harus memiliki dasar ideologi yang jelas, hal ini tentunya akan menjadi dasar perekat hubungan antar warga negara dengan negaranya dibawah suatu kekuasaan tertentu.

Di Indonesia, sejak bangsa ini berjuang menuju Kemerdekaan yakni tanggal 17 Agustus 1945, The Founding Fathers (Para Pendiri) Bangsa sudah memikirkan bagaimana cara menyatukan bangsa yang berlatar belakang budaya dan kondisi sosial yang beragam dapat direkatkan dengan nilai-nilai luhur yang bisa menyatukan masyarakat dibawah satu dasar ideologi sekaligus menjadi dasar negara yang merdeka yang kita kenal dengan istilah PANCASILA.

Lahirnya Pancasila sendiri merupakan judul pidato yang disampaikan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945 silam, pidato tersebut mendapat sebutan “Lahirnya Pancasila” dari mantan Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Dr. Radjiman Wedyodiningrat. Di dalam pidato tersebut, untuk kali pertama konsep dan rumusan awal Pancasila dikemukakan oleh Soekarno sebagai dasar negara merdeka, meskipun susunan dan kalimat sila-silanya masih dalam perdebatan.

Pada dasarnya, kata Pancasila sendiri diambil dari bahasa Sansekerta, di mana Panca berarti lima dan Sila yang berarti dasar atau asas. Istilah Pancasila sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 yang terdapat dalam buku Negara Kertagama karangan Empu Prapanca yang kalimat silanya saat itu disesuaikan dengan kehidupan bermasyarakat pada saat menjelang kemerdekaan.

Gagasan lahirnya Pancasila sebagai Ideologi bangsa tentunya melalui tahapan-tahapan penyusunan yang matang, sehingga sila-sila di dalam Pancasila dapat diterima dengan baik oleh semua kalangan, meskipun membutuhkan waktu yang cukup panjang dan perdebatan yang alot dari anggota BPUPKI, hal ini terbukti dari beberapa tokoh yang menawarkan susunan dan kalimat dari sila-sila yang ada dalam Pancasila.

Ada beberapa tokoh pendiri bangsa yang memberikan sumbangsih pemikiran dalam menyusun sila-sila Pancasila pada Sidang Pertama BPUPKI (29 Mei 1945- 1 Juni 1945) yakni:

a. Mr. Muh Yamin

Di dalam bukunya Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, dikatakan bahwa pada tanggal 29 Mei 1945 itu beliau berpidato tentang rancangan usulan dasar negara sebagai berikut:

1. Peri Kebangsaan

2. Peri Kemanusiaan

3. Peri Ketuhanan

4. Peri Kerakyatan

5. Kesejahteraan Rakyat (Kaelan, 2000:35).

Tetapi notulen pidato Mr. Muh. Yamin ini tidak terdapat di dalam arsip nasional.

b. Mr. Soepomo

Pada sidang tanggal 31 Mei 1945 mengetengahkan pembicara Mr. Soepomo, dengan mengangkat beberapa teori tentang negara yakni:

1. Pertama, aliran pikiran perseorangan (individualis) sebagaimana diajarkan oleh Thomas Hobbes (abad 17), Jean Jacques Rousseau (abad 18), Herbert Spencer (abad 19) dan Harold J Laski (abad 20);

2. Kedua, aliran pikiran tentang negara berdasar teori golongan (class theory) sebagaimana diajarkan Karl Marx, Engels dan Lenin;

3. Ketiga, Aliran pikiran lainnya: teori integralistik yang diajarkan Spinoza, Adam Muller, Hegel, dan lain-lain (abad 18-19).

Soepomo juga setuju dengan pendapat Moh. Hatta bahwa negara yang didirikan itu bukan negara Islam, tetapi negara persatuan.

c. Ir. Soekarno

Pada hari keempat sidang pertama BPUPKI, tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mendapat giliran menyampaikan gagasannya mengenai dasar-dasar bagi Indonesia merdeka. Selanjutnya Ir, Soekarno mengusulkan kepada sidang bahwa dasar bagi Indonesia merdeka itu disebut Pancasila, yaitu:

1. Kebangsaan (nasionalisme);

2. Kemanusiaan (internasionalisme);

3. Musyawarah, mufakat, perwakilan;

4. Kesejhteraan sosial;

5. Ketuhanan yang berkebudayaan.

Jika anggota sidang tidak setuju dengan rumusan yang lima di atas, maka rumusan itu dapat diperas menjadi tiga yang disebutnya Trisila, yaitu:

1. Sosio-nasionalisme

2. Sosio-demokrasi

3. Ketuhanan

Rumusan Trisila dapat pula diperas menjadi satu sila yang disebut oleh Ir. Soekarno sebagai Ekasila, yaitu gotong-royong, dimana menurut Ir. Soekarno gotong-royong adalah ide asli Indonesia.

Para anggota sidang BPUPKI, yang beragama Islam menghendaki bahwa negara berdasarkan syariat Islam, sedangkan golongan nasionalis menghendaki bahwa negara tidak mendasarkan hukum salah satu agama tertentu. Untuk mengatasi perbedaan ini maka dibentuk suatu panitia kecil yang berjumlah sembilan orang (dikenal sebagai Panitia Sembilan), yang anggotanya yaitu:

1. Ir. Soekarno (Ketua);

2. Mr. Moh Yamin;

3. K.H Wachid Hasyim;

4. Drs. Moh. Hatta;

5. K.H. Abdul Kahar Moezakir;

6. Mr. Maramis;

7. Mr. Soebardjo;

8. Abikusno Tjokrosujoso;

9. H. Agus Salim.

Panitia sembilan bersidang tanggal 22 Juni 1945 dan menghasilkan kesepakatan atau suatu persetujuan yang menurut istilah Ir. Soekarno adalah suatu modus, kesepakatan yang dituangkan di dalam Mukadimah (Preambule) Hukum Dasar, tepatnya pada alinea keempat dalam rumusan dasar negara sebagai berikut:

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;

3. Persatuan Indonesia;

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan;

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Konsep Pancasila yang dihasilkan pada sidang tanggal 22 Juni 1945, menurut Moh. Yamin merupakan kesepakatan dinamakan Piagam Jakarta.

Pada saat penyusunan naskah Pembukaan UUD 1945, maka disempurnakanlah Piagam Jakarta menjadi Pancasila yang saat ini kita kenal sebagai ideologi bangsa dan sekaligus sebagai dasar negara dengan susunan permanen di sahkan sejak tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) yakni:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa;

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;

3. Persatuan Indonesia;

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan;

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

B. Implementasi Pancasila dan Tantangannya

Sejak kemerdekaan hingga tahun 1998, Pancasila begitu erat di telinga kita sebagai masyarakat suatu bangsa yang merdeka. Generasi bangsa pada saat itu begitu antusias dengan implementasi Pancasila dalam darah pemersatu warga negaranya. Ada banyak kegiatan yang dilakukan pada saat itu terkait upaya menanamkan ideologi Pancasila sebagai dasar negara diantaranya dengan pelaksanaan penataran terkait Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa adalah sebuah panduan tentang pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara semasa Orde Baru.

Kondisi generasi bangsa saat itu, diwajibkan untuk mengikuti kegiatan penataran yang diselenggarakan disemua lini kehidupan masyarakat mulai dari peserta didik hingga pejabat negara. Pada kurun waktu tersebut, generasi bangsa bukan hanya mengenal sila yang ada di dalam Pancasila tetapi isi butir-butir Pancasila pun wajib untuk di hapal dan dipelajari untuk diejawantahkan dalam kehidupan bermasyarakat nilai-nilai luhurnya.

Pada saat itu, dibentuklah Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ( BP7) yang merupakan sebuah lembaga negara Indonesia pada masa Orde Baru yang mengkoordinasikan pelaksanaan pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai sebuah pendidikan nilai-nilai Pancasila yang diterapkan pada masa itu.

Badan ini dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1979 oleh Presiden Soeharto dan dibubarkan melalui Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1999 oleh Presiden B.J. Habibie.

Perubahan mendasar terkait pemahaman masyarakat tentang Pancasila menjadi bubar dan bergeser yakni sejak runtuhnya Rezim Orde Baru tahun 1998. Sejak masa Orde Reformasi perubahan-perubahan besar mulai terjadi di dalam bangsa ini, dimana sudah dimulainya untuk mengevaluasi kediktatoran rezim sebelumnya dengan merubah norma dasar (groundnorm) yakni batang tubuh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dikenal dengan amandemen UUD 1945.

Sejak saat itu Pancasila menjadi asing, generasi bangsa sudah tidak terlalu peduli dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan bahkan ada beberapa peristiwa yang sangat memperihatinkan, misalkan menduduki dan menginjak logo dan patung Pancasila, mencoret-coret Pancasila dan bahkan tidak hapal sila dari Pancasila.

Dengan kondisi ini, generasi bangsa jangankan memahami dan melaksanakan apa yang menjadi isi dan butir-butir Pancasila, menyebut dan menghapal sila Pancasila saja salah dan ini sungguh memalukan kita sebagai warga bangsa yang merdeka.

Dalam menghadapi kegamangan tentang ancaman terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa dan sebagai dasar negara, maka Presiden Joko Widodo pada tanggal 19 Mei 2017 telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UK PIP).

Namun demikian, UKP-PIP dirasa perlu disempurnakan dan direvitalisasi organisasi maupun tugas dan fungsinya, maka pada tanggal 28 Februari 2018, Presiden Joko Widodo kembali menandatangani Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018, maka Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Upaya dalam mempertahankan Pancasila sebagai sebuah ideologi nampak sekali dilakukan oleh Pemerintah saat ini sebagai upaya antisipasi terkikisnya (degradasi) nilai-nilai agama, peradaban dan persatuan bangsa, hanya saja upaya Pemerintah saat ini masih kurang maksimal dan tersistem seperti pada zaman Orde Baru saat itu, sehingga upaya menanamkan kembali nilai-nilai luhur Pancasila sebagai sebuah ideologi harus lebih dilakukan secara massif.

Tidak ada yang salah dari Pancasila, tapi akal fikir warga negara yang terkadang terlalu sempit menganggap Pancasila itu sebuah hal yang tak penting dalam bernegara. Idealnya harus dipahami bahwa Pancasila memiliki nilai-nilai dasar dalam rangka memapah kebebasan beragama, dalam melindungi martabat manusia dan kemanusiaan, melekat eratkan persatuan antara hubungan kausalitas atau kepentingan dalam berbangsa, menjunjung tinggi demokrasi serta mempertahankan derajat keadilan dalam konteks kebersamaan dalam sebuah bangsa.

Untuk mengembalikan kesadaran warga negara tentang pentingnya Pancasila selain sebagai ideologi bangsa dan dasar negara, tetapi lebih pada perekat hubungan kebangsaan, maka diharapkan Pemerintah melalui BPIP dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang serupa dengan BP7 dengan P4 di zaman Orde Baru di berbagai lini kegiatan masyarakat, baik di bidang Pendidikan, organisasi kepemudaan, organisasi politik dan sosial lainnya untuk mengembalikan marwah Pancasila sebagai Ideologi sebuah Bangsa yang merdeka.

Perlu kembali dilakukan pemberian pemahaman terhadap warga negara terkait sila Pancasila beserta butir-butir yang terkandung di dalamnya yang tujuannya untuk mengembalikan martabat bangsa agar warga negara tetap tunduk dan patuh serta dapat mempertahankan 4 (empat) Pilar bangsa secara utuh yakni UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bhinneka Tunggal Ika serta Pancasila di dalamnya.

Berikut ini dipaparkan kembali Sila-sila Pancasila beserta butir-butir yang terkandung di dalaamnya yang harus Kembali galakkan pemahamannya di tengah masyarakat Bangsa yang merdeka yakni:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

a. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

b. Hormat menghormati dan bekerja sama antarpemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.

c. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepecayaannya.

d. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan tertentu kepada orang lain.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

a. Mengakui persamaan derajat persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia warga negara.

b. Saling mencintai sesama.

c. Mengembangkan sikap tenggang rasa.

d. Tidak semena-mena terhadap orang lain.

e. Menjungjung tinggi nilai kemanusiaan

f. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.

g. Berani membela kebenaran dan keadilan.

h. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja dengan bangsa lain.

3. Persatuan Indonesia

a. Menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.

b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.

c. Cinta tanah air dan bangsa.

d. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.

e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.


4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan

dan perwakilan

a. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.

b. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.

c. Mengutamakan musyawarah dalam mengambl keputusan untuk kepentingan bersama.

d. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan.

e. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil musyawarah.

f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai hati nurani yang luhur.

g. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

a. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong royong.

b. Bersikap adil.

c. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.

d. Menghormati hak-hak orang lain.

e. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.

f. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.

g. Tidak bersikap boros.

h. Tidak bergaya hidup mewah.

i. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.

j. Suka bekerja keras.

k. Menghargai karya orang lain.

l. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

Penulis:




Ansori, SH.MH

Staf Pengajar (Dosen) Fakultas Hukum

Universitas Bandar Lampung

Post a Comment

Previous Post Next Post