Alasan Korban Kasus Pidana RSUD Abdoel Moeloek Tolak Biaya Perawatan Bocah Korban Penusukan Jambret Gunakan BPJS?

Bandar Lampung - Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) menolak layanan BPJS bagi Siswa SD korban penusukan pelaku penjambretan, MA (13) di Kotasepang, Bandar Lampung. Sementara korban hidup miskin, dan membutuhkan biaya untuk melunasi biaya operasi yang telah dilaksanakan.




Bibi korban, Suminah mengatakan, dirinya sudah mengajukan operasi keponakannya tersebut dengan menggunakan BPJS. Namun, ia menyebut pihak rumah sakit menolaknya dengan alasan berhubungan dengan tindak kriminalitas. “Sudah kami ajukan, tetap ditolak. Menurut mereka, BPJS tidak menanggung korban kriminal,” katanya, Jumat, 27 Mei 2022.

Menurut Suminah, saat ini status keponakannya di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) masih mengambang. Keluarga menyebut, biaya operasi itu telah menelan biaya hingga puluhan juta rupiah. “Kami juga sudah mengadu ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), cuma tidak ada jawaban,” keluh dia.

Korban yang kesehariannya tinggal di rumah berdinding geribik berukuran sekitar 6×4 meter persegi di Jalan Lekik Palis, Kotasepang, Labuhanratu itu mengalami luka tusuk di bagian tulang rusuk sebelah kanan karena ditikam orang tidak dikenal.
Korban ditusuk karena mempertahankan ponselnya ketika ingin dirampas pelaku. Peristiwa itu terjadi pada Kamis, 26 Mei 2022, sekitar pukul 18.30 WIB. MA keluar dari rumah neneknya menuju SDN 1 Sepang Jaya, yang berjarak sekitar 500 meter untuk mencari jaringan internet atau WiFI.


Sementara dalam tulisan Firdiansyah staf Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dilangsir detik.com menyebutkan bagi peserta BPJS Kesehatan yang menjadi korban tindak pidana dapat mengakses layanan rumah sakit dengan menggunakan BPJS.

Firdian menyebutkan bahwa memang Peraturan Presiden No 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden No 28 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden No 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, merupakan peraturan yang mengatur bagaimana pelaksanaan jaminan kesehatan (BPJS) di dalamnya tidak mengatur sama sekali mengenai jaminan kesehatan bagi korban tindak pidana.


“Tidak adanya aturan yang membolehkan atau melarang korban tindak pidana mendapatkan layanan BPJS Kesehatan menjadi celah bagi korban dan rumah sakit untuk memberikan layanan bagi korban tindak pidana. Sehingga para korban tidak pidana yang menjadi peserta BPJS selama ini telah mendapatkan pertolongan pertama di berbagai fasilitas kesehatan, tanpa harus memikirkan biaya yang dikeluarkan,” katanya.

Fisrdinsyah menjelaskan pada September 2018, pemerintah mengeluarkan peraturan baru tentang Jaminan Kesehatan. Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menggantikan Peraturan Presiden sebelumnya.


Salah satu kebijakan baru yang diatur dalam peraturan presiden ini adalah pada bagian manfaat yang tidak dijamin, salah satunya pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) huruf r.

Jika pada pada peraturan sebelumnya tidak diatur sama sekali mengenai layanan kesehatan bagi korban tindak pidana, maka pada peraturan baru sangat tegas untuk korban empat peristiwa tindak pidana tidak mendapatkan dapat mengakses layanan kesehatan melalui mekanisme BPJS.

Pada media, Humas BPJS Kesehatan menjelaskan alasan tidak dijaminnya layanan kesehatan bagi korban tindak pidana tersebut karena layanan kesehatannya sudah diatur dalam UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan UU No 31 Tahun 2014. Disampaikan bahwa korban tindak pidana dapat mengajukan permohonan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk mendapatkan layanan pengobatan atau perawatan.

Berdasarkan UU No 31 Tahun 2014, korban pelanggaran HAM yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban tindak pidana penganiayaan berat berhak mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Bantuan tersebut diberikan berdasarkan keputusan LPSK, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2).


Tetapi, tidak serta merta dan segera sesaat setelah kejadian korban dapat mendapatkan bantuan medis oleh LPSK, harus ada prosedur yang dilalui sebelum akhirnya LPSK mengeluarkan keputusan bahwa korban tindak pidana yang mengajukan permohonan berhak untuk mendapatkan bantuan medis.

Khusus untuk korban tindak pidana terorisme, mereka berhak mendapatkan bantuan medis segera dan sesaat setelah terjadinya peristiwa, hal ini tidak diatur dalam UU 31 Tahun 2014 tetapi diatur dalam UU No 5 Tahun 2018 tentang perubahan atas UU No 15 Tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang No 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi undang-undang pasal 35B ayat (2).

Sedangkan untuk korban tindak pidana lain, selain korban terorisme, harus ada permohonan yang disampaikan kepada LPSK dilengkapi dengan syarat-syarat yang diatur dalam UU No 31 tahun 2014 dan PP No 7 Tahun 2018. Syarat paling utama untuk mengajukan permohonan adalah adanya dokumen yang menyatakan permohonan adalah korban tindak pidana, hal ini salah satunya dibuktikan dengan adanya surat laporan polisi. Permohonan yang disampaikan kepada LPSK kemudian dianalisis untuk diputuskan apakah permohonan diterima atau tidak.


Kalaupun permohonan korban diterima LPSK untuk kemudian diberikan bantuan medis, maka biaya perawatan dan pengobatan korban yang dapat ditanggung terhitung setelah keputusan LPSK dikeluarkan. Sedangkan biaya perawatan dan pengobatan yang sebelumnya telah dikeluarkan, tidak dapat diganti (reimburse) oleh LPSK, karena berhubungan dengan pertanggungjawaban keuangan negara. (Red)





Post a Comment

Previous Post Next Post