Rilis Kuliah Umum Ketua DPD RI Kampus STIE Indonesia




Kuliah Umum Ketua DPD RI Kampus STIE Indonesia Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkeadilan

Banjarmasin, Senin 24 Mei 2021

Bismillahirrohmannirrohim,

Assalamu’alaikum Wr. Wb.,

Salam sejahtera untuk kita semua.



Yang saya hormati dan banggakan; (Menyesuaikan daftar dari protokol)

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.

Saya juga mengucapkan selamat Idul Fitri

1442 Hijriyah kepada kaum muslimin, Minal

Aidin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Banjarmasin yang memberikan kesempatan kepada saya untuk turut menyumbangkan gagasan dan pemikiran dalam kuliah umum tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkeadilan.

Bapak Ibu hadirin yang saya hormati,

Tanggal 20 Mei kemarin, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional, saya diundang untuk membuka acara peringatan Hari Kebangkitan Nasional dan Peluncuran Buku karya mantan Ketua DPD RI Bapak Irman Gusman yang digelar oleh Majelis Nasional

Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam, atau

KAHMI.

Dalam kesempatan itu, saya diberi tema oleh panitia tentang “Pencegahan Korupsi di Daerah”. Karena memang DPD RI adalah wakil daerah.

Tetapi saya ketika itu tidak membahas tentang pencegahan korupsi di daerah. Karena saya ingin memberikan gagasan dan pikiran yang out of the box tentang korupsi.

Saya katakan, sudah banyak para pemerhati, pakar dan pegiat anti-korupsi yang membedah persoalan tentang korupsi yang terjadi di daerah. Semuanya benar. Ada yang menyoal dari sudut pandang biaya pilkada yang mahal. Ada yang menyoal dari sudut lemahnya sistem.

Ada yang menyoal dari sudut mentalitas. Dan lain-lain. Semuanya benar. Tetapi saya sengaja mencoba untuk melihat dari luar sudut pandang itu semua.

Saya katakan saat itu, bahwa saya ingin meminta semua yang hadir, untuk mengingat kembali tujuan kita berbangsa. Tujuan lahirnya bangsa ini. Sekaligus mengingat kembali cita-cita para pendiri bangsa ini.

Terbentuknya negara ini, tentu memiliki tujuan. Dan tujuan itu dituangkan dalam konstitusi. Dimana salah satunya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan seterusnya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka negara membentuk pemerintahan dan aparatur.

Termasuk lembaga negara dalam fungsi legislatif, yudikatif dan auditif.

Saya katakan saat itu, ketika dalam pelaksanaan tugasnya, lembaga dan aparatur tersebut berbuat untuk kepentingan sendiri atau kelompok dan bukan untuk tujuan negara, maka itulah KORUPSI.

Sehingga, ketika ada Undang-Undang yang memerintahkan penyerahan hajat hidup orang banyak kepada mekanisme pasar, maka sejatinya Undang-Undang tersebut adalah Undang-Undang yang Koruptif !

Di sinilah materi kita dalam kuliah umum hari ini. Yaitu tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkeadilan.

Bapak Ibu hadirin yang saya hormati,

Berbeda dengan negara yang bercorak liberalis-kapitalis, para pendiri bangsa dan negara ini sebenarnya memutuskan Indonesia adalah negara kesejahteraan yang religius. Atau religious welfare state.

Karena negara ini didirikan dengan berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana termaktub pada Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945. Meskipun negara ini menganut tradisi hukum civil law.

Sehingga konsekuensinya, dalam mengatur kehidupan rakyatnya, negara harus berpegang pada kosmologi dan spirit Ketuhanan. Sehingga kebijakan yang dibuat perlu diletakkan dalam kerangka etis dan moral agama.

Untuk itu, kebijakan perekonomian nasional negara kita yang tertuang di Pasal 33

UUD 1945 menyatakan: Ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Kemudian Ayat (2) Cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dan Ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sementara dalam Amandemen, terdapat tambahan dua Ayat di Pasal ini, yaitu Ayat (4) yang menyatakan; Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dan Ayat (5) yang menyatakan; Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Pasal 33 UUD 1945 ini sebenarnya menjadi penanda bahwa negara harus aktif membangun kesejahteraan sosial. Terlebih Pasal

33 UUD 1945 adalah salah satu pasal, di Ayat (1), (2) dan (3), yang tidak mengalami perubahan pada momentum perubahan konstitusi yang terjadi pada kurun waktu 1999-2002, meskipun kemudian ditambah dengan Ayat (4) dan (5) hasil Amandemen. Karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.

Salah satu alasan mengapa Pasal 33 Ayat

(1), (2), dan (3) tidak diubah? Karena pasal ini

dianggap karya yang monumental yang dihasilkan oleh para pendiri bangsa.

Adalah Muhammad Hatta, salah seorang

founding father sekaligus juga penggagas Pasal

33 UUD 1945, yang menyatakan bahwa kelahiran Pasal 33 UUD 1945 dilatarbelakangi semangat kolektivitas yang didasarkan pada semangat tolong menolong.

Implikasi semangat kolektivitas yang didasari semangat tolong menolong ini membawa beberapa konsekuensi, yaitu: Pertama, Penguasaan sektor-sektor perekonomian dijalankan dengan bentuk KOPERASI. Kedua, Diperlukan perencanaan pembangunan ekonomi yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, perumahan dan makanan yang dilakukan oleh badan pemikir

siasat ekonomi atau planning board. Dan ketiga, Melakukan kerjasama-kerjasama internasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dunia.

Kata “KOPERASI” dalam Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945 juga perlu dipahami sebagai “kata kerja”. Yakni semangat tolong menolong. Semangat kekeluargaan yang senantiasa mengupayakan keuntungan bersama. Solidaritas sosial yang berorientasi kepada “Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing”.

Dalam arti ini, Muhammad Hatta dan juga Sjahrir, menyebut Badan Usaha Milik Negara dan bahkan perusahaan swasta pun harus berjiwa Koperasi.

Pada perubahan UUD 1945 yang terjadi pada kurun 1999-2002, Pasal 33 kemudian


ditambah dua Ayat baru. Sehingga menjadi lima ayat.

Penambahan dua Ayat baru tersebut didalilkan untuk untuk mengurangi potensi kesalahpahaman. Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945 yang memuat ketentuan asas kekeluargaan, dikatakan mengandung risiko disalahpahami dan disalahgunakan dalam prakteknya. Sehingga perlu diimbangi dengan prinsip kebersamaan yang dimuat dalam tambahan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945.

Dengan adanya prinsip kebersamaan dalam Pasal 33 ayat (4), maka asas kekeluargaan dalam Pasal 33 Ayat (1) harus dipahami dalam pengertian yang luas, bukan lagi dalam pengertian organ, dalam wujud pelaku ekonomi yang harus berbentuk Koperasi.


Di samping itu dengan adanya prinsip kebersamaan itu, asas kekeluargaan tidak disalahgunakan dengan pengertian family system yang memiliki konotasi negatif.

Tetapi akibat dari Amandemen tersebut, khususnya pada Ayat (5) dimana disebutkan bahwa; “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang- undang”, maka mulailah lahir beberapa Undang- Undang yang membuka peluang swasta untuk terlibat dalam urusan hajat hidup orang banyak.

Yang kemudian dalam perjalanannya, perusahaan swasta tersebut menguasai dan menggurita serta berdagang sahamnya di lantai bursa. Swasta tersebut menawarkan sahamnya kepada siapapun di lantai bursa. Termasuk orang

Asing. Sehingga sebagian kepemilikannya sudah dikuasai Asing.

Akibatnya, keuntungan dari pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia juga dimiliki para pemegang saham, yang notabene adalah pihak Asing.

Hal itu pernah juga diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan uji materi. Tetapi saat itu oleh Mahkamah Konstitusi ditolak, dengan alasan Frasa Penguasaan oleh Negara tidak harus diartikan dalam Pengelolaan Negara. Tetapi dapat juga diartikan bahwa posisi negara adalah membuat kebijakan dan tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan.

Di sinilah akibat dari penambahan Ayat 4 dan Ayat 5 di Pasal 33 Undang-Undang Dasar

1945 hasil Amandemen.

Padahal, sejatinya semangat KOPERASI yang digagas oleh Muhammad Hatta adalah sebuah Koperasi yang harus dimaknai sebagai CARA atau SARANA atau ALAT untuk Berhimpun, dalam tujuan memiliki secara bersama alat industri atau sarana produksi.

Sekali lagi, Koperasi harus dimaknai sebagai cara berhimpun untuk secara bersama memiliki mesin penghasil uang. Sehingga para anggota Koperasi, sama persis dengan para pemegang saham yang membeli perusahaan melalui lantai bursa saham. Bedanya, jika pemegang saham di lantai bursa bisa orang asing,

maka Koperasi adalah warga di daerah tersebut. Alias bangsa kita sendiri.

Jangan kemudian Koperasi dikecilkan artinya hanya menjadi Koperasi Simpan Pinjam. Atau malah jadi tempat gadai barang. Apalagi hanya dikenal sebagai KUD.

Padahal Koperasi adalah konsepsi lantai bursa milik rakyat yang memproteksi dan melindungi warga bangsa. Itu semangatnya.

Oleh karena itu mulai sekarang mari kita gelorakan kembali nilai sejati Koperasi. Bukan sekedar jadi etalase saja. Tetapi benar-benar sebagai alternatif cara umat manusia menjawab tantangan masa depan. Terutama di era Robotisasi, dimana peran manusia akan

digantikan oleh robot dan mesin yang memiliki kemampuan artificial intelligent.

Bapak Ibu hadirin yang saya hormati,

Julukan Indonesia sebagai “zamrud khatulistiwa” tidaklah berlebihan. Karena Indonesia memang seperti untaian perhiasan yang terbentang sepanjang garis khatulistiwa di wilayah NKRI.

Dan Pulau Kalimantan menjadi salah satu pulau di Indonesia yang dilalui secara tepat oleh garis khatulistiwa, yang menjadikan Kalimantan sebagai titik ekuator Negara Indonesia.

Hanya ada 13 Negara di dunia yang dilewati tepat garis ekuator ini, termasuk Indonesia, yang membawa banyak sekali keuntungan secara pengaruh iklim, cuaca, dan

intensitas hujan yang cukup. Sehingga seharusnya membawa kemakmuran di dalamnya.

Sumber Daya Alam Indonesia seakan tidak lekang habis dimakan zaman, meskipun pernah di eksploitasi besar-besaran sejak era penjajahan Portugis, VOC Hindia Belanda, dan Jepang hingga pengerukan sendiri oleh perusahaan nasional dan multi nasional.

Akhirnya, ada satu pertanyaan yang harus kita tanyakan kepada diri kita masing-masing. “Sudahkah Sumber Daya Alam bangsa ini membuat kita makmur dan hidup sejahtera berkeadilan di negeri kita sendiri?”

Di sinilah pentingnya kita menggalang kesadaran bersama. Untuk terus menerus bekerja tanpa lelah guna berbuat untuk bangsa dan negara

ini. Karena perubahan adalah keniscayaan. Selama dilandaskan kepada semangat untuk Bersama Dalam Kebaikan.

DPD RI akan tetap konsisten mengawal kepentingan daerah. Karena kami para Senator adalah wakil daerah. Pembela kepentingan daerah dan seluruh stakeholder yang ada di daerah.

Kiranya itu yang dapat saya sampaikan. Atas perhatian Bapak Ibu hadirin sekalian. Saya ucapkan terima kasih.

Wabillahi Taufiq wal Hidayah

Wassalamualaikum Wr. Wb.


Ketua DPD RI





AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Post a Comment

Previous Post Next Post