"Sang Penyair Bernyanyi" dan "Ilmu Cai"

 



“SANG PENYAIR BERNYANYI” DAN “ILMU CAI”

(Sekedar Menunaikan Amanah Secuil Ilmu)

 

Oleh: Agus Rianto

 

(Penulis   hanya  seorang  anak  kampung  yang suka  memerhatikan  soal     soal lingkungan)

  

“Tengoklah ke dalam, sebelum bicara. Singkirkan debu yang masih melekat.” (Ebiet

G. Ade dalam tembang “Untuk Kita Renungkan”)

 

Abid  Ghoffar   bin  Aboe Dja’far,  alias  Ebiet  G.  Ade,  dalam   banyak  kesempatan menyatakan bahwa ia lebih suka disebut sebagai penyair yang  bernyanyi. Sebab, pada dasarnya ia memang bernyanyi untuk  menyajikan  syair – syair puisi yang digubahnya. Ya, semua balada yang ditembangkan oleh Ebiet G. Ade adalah untaian puisi nan indah. Digubah dengan kedalaman pikir dan rasa, dan kemudian lahirlah mahakarya seni yang tak lekang oleh waktu.

 


Lihat saja, misalnya, hingga kini masih banyak tayangan tentang nestapa alam dan manusia   yang  berlatar   lagu  gubahannya.   Banjir,  gempa  bumi,   kekeringan, kebakaran hutan, dan kisah duka lainnya. Sebuah isyarat bahwa karyanya memang selalu relevan dalam berbagai peristiwa lintas zaman. “Sang Penyair Bernyanyi” ini pun   tampaknya   mengambil  spesialisasi   memotret    berbagai  nestapa,   untuk kemudian digubahnya menjadi syair dan balada. Simak saja “Berita kepada Kawan,” “Untuk Kita Renungkan,” “Sketsa Rembulan Emas,” “Masih Ada Waktu,” “Rembulan Menangis,” “Menjaring Matahari,” dan tembang puitis lainnya.

 

Jika  tak  keliru menafsir,  penggalan  syair  di awal tulisan  ini sejatinya  adalah sebentuk  pengingat.  Pengingat bahwa  ketika  hendak  berucap   tentang  suatu bencana, kita harus membersihkan hati dari segala kotoran yang menutupinya. Hati yang kotor akan mendorong lisan berucap (atau, jemari menuliskan kalimat yang) kotor pula. Bukannya meringankan nestapa, yang ada justru riuh tanpa makna dan malah seperti menggarami luka. Debu hati memang bisa berupa ketidaktahuan, tapi itu mudah diperbaiki dan dimaafkan. Justru, mungkin yang lebih lekat adalah debu kecintaan  (atau  kebencian)  pada  suatu  sosok, fanatisme,  kedengkian, dendam, ambisi, kemarahan,  kepentingan diri dan golongan, atau sekedar hasrat mencari ketenaran. Bencana adalah kedukaan, yang tak patut “dinyinyiri” dengan hati, lisan, dan tulisan yang berdebu. Jika membersihkan semua debu terdengar terlalu muluk, maka mengikis sebagiannya pun jadilah.


 

Pun, soal banjir. Tentu ada banyak kaum cendekia yang mengabdikan dirinya dalam senyap.  Mereka yang berpikir  sepanjang  waktu  dengan  amanah   keilmuannya, untuk  mengurai persoalan  yang memang tak  sederhana  itu.   Namun,  mereka memang tak riuh. Suara mereka kalah ramai dengan  kalimat  – kalimat berdebu yang memenuhi antero negeri. Biarlah, memang demikian kewajiban para cendekia. Perkataan kaum cendekia haruslah bermanfaat dan mencerahkan. Jika tidak, maka diam adalah pilihan terbaik.  Para cendekia yang memahami soal banjir haruslah lebih keras  berupaya  mengikis debu  hatinya,  agar semua  kemampuan  dirinya tercurahkan untuk mencermati dan menganalisis fenomena hidrologi yang melatari perisitiwa itu. Ilmu hidrologi, alias “ilmu CAI.”

“CAI,” yang (secara kebetulan) dalam bahasa Sunda berarti “air,” adalah formula inti yang digunakan para ahli untuk membuat estimasi debit limpasan air. Formula ini sangat  penting dalam perencanaan  sistem drainase  suatu  kawasan.  Tentu tak sesederhana kelihatannya. Untuk memahami dasarnya saja, Anda harus mengikuti beberapa satuan kredit semester (SKS) mata kuliah hidrologi dan/atau perancangan sistem drainase. “Ilmu CAI” bahkan dipelajari hingga jenjang magister dan doktoral, yang  artinya  harus   “mondok”   selama   bertahun     tahun   untuk   memahami hakikatnya.   Banyak  pula   guru    besar—para    resi   ilmu   pengetahuan—yang memusatkan keahliannya pada “CAI”. Jadi, tulisan ini memang tidak dimaksudkan untuk membuat Anda  (yang  tak membidanginya)  mendadak jadi ahli dan secara ajaib  bisa   membuat   pemodelan  hidrologi, lengkap  dengan  rangkaian  formula matematis  yang memesona. Jangan  pula bermimpi Anda  bisa mendadak  mahir menggunakan perangkat lunak sistem informasi geospasial, lalu  menghitung luas daerah tangkapan air. Atau  (lagi),  Anda  tiba -  tiba mahir  menggunakan kaidah statistika untuk mengolah dan menafsirkan data riwayat curah hujan. Bisa – bisa, jin di iklan rokok itu menertawakan Anda, “Hahaha, ngimpi!!!”

 

Oleh karena itu, tulisan ini hanya akan menuturkan prinsip – prinsip dasarnya saja. Sebuah gambaran umum yang mestinya mudah dipahami secara awam.  Dengan prinsip –  prinsip dasar  itu, diharapkan terjadi transfer  gagasan  agar  persoalan pengelolaan sumber  daya air ini bisa menjadi bahan  pemikiran dan pekerjaan bersama. Kemudian, gagasan kreatif diharapkan bermunculan untuk mengelola air dengan lebih berwawasan lingkungan.

 

Jika—bagi  sebagian Anda—prinsip dasar ini pun masih terlalu sulit dipahami, tak mengapa. Tetapi, mohon tahanlah lidah dan jemari Anda dari penciptaan kalimat – kalimat berdebu! Tak memberi solusi pun tak mengapa, tetapi jangan menggarami luka!

 

Dalam “CAI,” ketiga huruf itu secara berurutan merujuk pada: koefisien limpasan, luas daerah tangkapan, dan intensitas hujan. Jika  ketiga variabel  itu dikalikan, maka muncullah besaran debit air yang satuannya adalah volume per waktu (liter per  detik,  meter  kubik  per  detik,  atau  satuan   lainnya).   Dari  ketiganya,  “C” tampaknya paling menarik untuk  diulas di  sini.  Sebab ia memberi kita banyak peluang  untuk   berkreasi  dan  berbuat   dalam  pengelolaan  sumber   daya  air. Mengapa? Karena “C” adalah variabel yang bisa direkayasa dengan berbagai upaya. Sementara untuk “A” dan “I,” tak banyak upaya yang bisa dilakukan.

 

Variabel  “A,”  yakni luas daerah tangkapan, adalah fungsi  dari topografi  suatu wilayah. Ia merujuk pada suatu  luasan  yang dibatasi  oleh punggung   punggung bukit atau  gunung tertinggi yang melingkupinya. Anda  bisa  membayangkannya seperti baskom, cobek, piring, atau kuali yang tepiannya tak beraturan. Setiap tetes air  hujan  yang jatuh   di atas  luasan  itu  ditampung,   yang sebagiannya akan membentuk aliran permukaan, anak sungai, sungai, dan seterusnya. Sebagiannya akan meresap ke dalam tanah sebelum  membentuk aliran sungai atau mata air. Sebagiannya lagi menjadi uap air  melalui proses evaporasi (penguapan  langsung) dan  transpirasi  (penguapan   melalui  vegetasi).   Jadi,   salah  satu  variabel yang digunakan para ahli  untuk  membuat estimasi debit aliran dari sebuah  saluran (alami  atau  buatan)  adalah luas daerah tangkapan itu. Dalam bahasa yang lebih mudah,  para ahli akan menentukan  luasnya wadah yang menampung air yang alirannya menuju pada suatu saluran tertentu. Oleh karena “A” merupakan fungsi dari topografi, maka ia relatif tetap dan tak banyak berubah. Ia adalah variabel yang sudah demikian adanya di alam. Untuk mengubahnya,  diperlukan peristiwa alam atau  perekayasaan  teknik  skala  besar.  Dengan   demikian,  dalam  pengelolaan

sumber daya air, variabel “A” tidak memberikan cukup peluang untuk direkayasa. Jadi, terima saja apa adanya.

 

Adapun  “I,”  yakni intensitas hujan, merupakan fungsi  dari iklim. Variabel  ini  pun tak  memberikan  peluang  bagi  perekayasaan.  Kecuali  jika—dengan   imajinasi futuristik—Anda   membayangkan  tiba     tiba  negeri  ini   menguasai   teknologi modifikasi cuaca yang memiliki kemampuan mengubah iklim makro suatu wilayah. Oleh karena bayangan futuristik itu belum terjadi, maka kita pun harus menerima bahwa variabel “I” ini tak bisa direkayasa.

 

Tinggallah  “C,”  yakni koefisien  limpasan, yang tersisa  untuk  kita. Variabel  ini merujuk pada proporsi air hujan yang langsung membentuk aliran permukaan pada saat tiba di permukaan bumi. Rentang nilai koefisien tersebut adalah antara 0 – 1. Jika nilai “C” adalah 0,3, maka berarti dari setiap 1 liter  air hujan yang mencapai bumi akan ada 0,3 liter air yang langsung mengalir di permukaan. Sisanya barulah dalam bentuk    bentuk  lain yang sudah  dipaparkan  di atas.  Menariknya, “C” merupakan fungsi  dari karakteristik  tutupan  lahan suatu  wilayah, yang berarti memberikan peluang besar bagi perekayasaan.

 

Nilai  “C”  akan  bergeser dari kisaran  0 mendekati 1, seiring dengan  perubahan tutupan  lahan dari hutan  menjadi kawasan budidaya atau  kawasan terbangun. Artinya,  semakin “terbangun”  suatu  wilayah, akan  semakin besar nilai koefisien limpasan. Bahasa sederhananya, semakin banyak proporsi air hujan yang menjadi limpasan di permukaan. Lebih sederhana lagi: mudah terjadi banjir. Kecuali, tentu saja,  jika kawasan  tersebut  menerapkan pengelolaan air limpasan secara baik. Sebuah  sumber   mengilustrasikan  bahwa  pada  suatu   wilayah yang  tutupan lahannya adalah hutan, nilai “C” adalah sekira 0,003. Bisa dikatakan sangat kecil. Sementara pada kawasan terbangun, nilai “C”  dapat mencapai kisaran 0,3  atau bahkan lebih. Anda sudah mulai bisa menafsirkan angka – angka itu bukan?

 

Jika (sebagian) Anda masih sulit mencernanya, bayangkan saja satu liter air hujan yang jatuh  di atas  kawasan hutan.  Pertama, ia akan  menimpa  dedaunan  dari vegetasi yang tumbuh  rapat  di sana.  Kemudian  air mengalir  perlahan  melalui ranting, dahan, batang pohon, hingga akhirnya mencapai tanah. Selama proses itu, sebagian air akan menguap ke udara (evaporasi)  sebelum mencapai permukaan tanah. Sementara, yang sampai ke permukaan tanah akan mengalir perlahan pula, sebab  ia melalui rerumputan  dan   lapisan   tanah  humus. Aliran   lambat,  yang terkombinasi  dengan   permeabilitas, porositas, dan  sifat    sifat  tanah  lainnya, memberikan  kesempatan air itu untuk  meresap lebih banyak ke dalam tanah. Sebagian air yang meresap ke tanah akan diserap oleh akar tumbuhan, kemudian naik melalui pembuluh angkut hingga sampai ke daun dan kemudian menguap lagi sebagiannya (transpirasi). Ada pula yang meresap lebih dalam membentuk lapisan air tanah (dangkal dan dalam). Jadi, dari satu liter tadi, berapakah kira – kira yang benar – benar menjadi aliran permukaan, alias sumber banjir? Ya, hanya sekira 3 mililiter saja untuk kawasan hutan.

 

Dengan cara yang sama,  bayangkan pula perjalanan  satu  liter air hujan  yang menimpa kawasan permukiman di perkotaan! Akan menjadi masuk akal bahwa dari volume tersebut, 300 mililiter di antaranya akan menjadi sumber banjir.

 

Selain nilai “C” yang tinggi, karakteristik tutupan lahan di kawasan terbangun (yang biasanya didominasi lapisan perkerasan) menyebabkan air limpasan “berlari terlalu kencang” dan segera membebani saluran – saluran pembawa. Terjadi debit puncak dalam waktu yang terlalu singkat. Fenomena ini tak ubahnya seperti sekumpulan

orang yang berebut keluar dari pintu –  pintu  stadion  olah raga dan  tiba –  tiba membludak memenuhi jalanan.  Hal tersebut  dapat  dicegah, jika proses  keluar stadion itu bisa diatur dalam antrian yang lebih lambat. Jalanan tidak akan menjadi terlalu padat sebab orang yang lebih dahulu keluar sudah akan berjalan cukup jauh sebelum orang di belakangnya menyusul. Demikian pula, puncak debit yang terlalu tinggi dan dalam rentang waktu yang terlalu  singkat  dapat dicegah dengan cara memerlambat aliran air dari sumbernya menuju saluran pembawa. Soalnya adalah, bagaimana terapan praktisnya?

 

Apakah Anda, pembaca yang budiman, memiliki gagasan praktis nan brilian untuk menggeser nilai “C” dari kisaran 1 mendekati 0? Apakah Anda memiliki  terobosan untuk menertibkan antrian air limpasan? Atau, Anda bahkan sudah memiliki model canggih berbasis sistem informasi geospasial untuk mengelola air di daerah Anda? Anda    sudah   merancang  pendekatan   model  dinamika    sistem?  Anda   sudah merumuskan  model program linier atau  “goal   programming”   untuk  mengelola sumber daya air secara optimum di antara berbagai tujuan dan kendala? Atau Anda memiliki  segudang   kearifan   untuk   meringankan  nestapa  sesama?  Jika   iya, ungkapkanlah   dan  sebarkanlah.   Sebab  itu  kontribusi  Anda   bagi  alam  dan kemanusiaan. Jika tidak,  mohon  diamlah.  Atau  berikan dukungan moril dan doa Anda. Jika masih juga tergoda untuk “nyinyir,” Anda bisa mengalihkannya dengan menonton sinetron recehan (karena itulah yang paling cocok untuk Anda). Biarlah soal ini diurai para cendekia sejati dan orang – orang berhati tulus.

 

Merekayasa nilai “C” sendiri juga tak sederhana. Sebab (sebagai salah satu contoh), kadangkala yang perlu direkayasa adalah tutupan lahan di daerah hulu yang secara administrasi berada di luar kewenangan sebuah otoritas atau  pemerintah daerah. Diperlukan kerja sama yang selaras di antara beberapa pemegang otoritas sekaligus. Dan Anda  tahu, di negeri kita hal itu bukanlah  perkara gampang. Sementara, air sendiri tak mengenal batas    batas  administrasi.  Belum lagi, upaya konservasi hutan  seringkali bertabrakan   dengan desakan  hajat  hidup  orang banyak. Ya, banyak saudara kita yang  tak melihat pilihan lain untuk bertahan hidup, selain mendesak terus hingga ke jantung rimba.

 






Jadi, pekerjaan rumah yang perlu dipikirkan bersama adalah “mengotak – atik” nilai “C” dalam “CAI” dan membuat air limpasan untuk “mengantri” dengan lebih tertib. Percayalah, itu seringkali tidak mudah. Meskipun, tidak pula  mustahil. Di  sinilah tugas mulia para cendekia, juga orang – orang berhati tulus yang selalu berorientasi pada solusi. Penulis percaya, mereka ini tak akan  berkecil hati mengemban tugas mulia (atau  bahkan suci) untuk mengurai soal  ini. Meskipun suaranya kalah riuh dengan semburan lisan dan tulisan yang berdebu. Sekali lagi, tak mengapa. Sebab di tengah terpaan debu itu, ikhtiar mereka adalah seumpama tajuk sebuah balada dari Negeri Jiran: “Suci dalam Debu.”

 

--Bersambung--

 

Lampung Barat, 29 Februari 2020

Sumber Ilustrasi:

  1. Ebiet G. Ade: https://id.wikipedia.org/wiki/Ebiet_G._Ade
  2. Ilustrasi hidrologi: Prof. DR. Ir. Arwin Sabar, DEA. (Guru Besar pada Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB), dalam “Bahan Ajar Mata Kuliah Kebijakan Air dan Ekonomi Lingkungan.” Program Studi Pengelolaan Infrastruktur Air Bersih dan Sanitasi Institut Teknologi Bandung (PIAS ITB): 2014..


#Lambar_Hebat

#Kabupaten_Konservasi

#Kabupaten_Literasi

#Kabupaten_Tangguh_Bencana

#Literasi_untuk_Konservasi

#Literasi_untuk_Tangguh_Bencana


"Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya di laman FB Agus Rianto."

dalam rangka menghindari self plagiarism (memplagiasi tulisan sendiri)


1 Comments

  1. Terima kasih sudah menampung tulisan sederhana ini di sini. Maju terus Undercover Channel.

    ReplyDelete

Post a Comment

Previous Post Next Post